Mohon tunggu...
Murni Khuarizmi
Murni Khuarizmi Mohon Tunggu... -

hanya warga biasa yang sangat mencintai tanah nusantara ini..tidak lebih!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kami Bukan Inlanders dan Tak Mau Menjadi Marhaen

24 Juli 2018   00:00 Diperbarui: 24 Juli 2018   00:16 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Marhaen ditemukan oleh Bung Karno di tengah sawah suatu hari yang panas, sambil menyeruput kopi panas bung Karno ngobrol ngalor-ngidul dengan Marhaen. Marhaen sebenarnya sedang mengantuk berat, tetapi karena yang mau bicara adalah presiden indonesiers mau tak mau dilayani juga. Akhirnya Marhaen setuju, namanya dipakai oleh presiden indonesiers untuk dijadikan bahan pidato.

Seperti Inlanders lainya, Marhaen juga santai-santai saja disaat namanya dijual oleh bung Karno. Dimana-mana orang pergerakan memakai istilah Marhaen untuk keperluan sehari-hari. Jika pesan sarapan, maka namanya sarapan ala Marhaen yaitu ubi rebus dan kopi. Jika makan malam ala Marhaen adalah nasi pecel dan tempe. Jika tidur ala Marhaenpun beralas tikar. Edan memang.

Namun suatu hari Marhaen hilang ditelah bumi, inlanders melihat sawah yang digarap Marhaen berubah menjadi irigasi dan kabarnya Marhaen kerja membajak di desa lain. Ketika kami telusuri, kabarnya ia sudah pindah juga. Begitulah Marhaen hidupnya sampai kini. Entah kapan ia akan memiliki sawah sendiri dan menjadi mandiri berkecukupan.

Marhaen sebenarnya orang saleh dan taat beragama. Ia tidak ngoyo-ngoyo kata orang Jawa. Bekerja adalah ibadah buatnya, kerja apa saja selama dia mengerti akan dikerjakannya. 

Membajak sawah adalah kesenangannya, ia seperti tenggelam terhipnotis melupakan beban hidupnya yang berat ketika membajak. Ia melihat tanah yang becek oleh air seperti melihat dirinya sendiri, ia bilang kepada kami, dari situlah aku diciptakan oleh Sang Khalik. 

Ia seperti bersaudara dengan tanah, diperlakukan tanah itu dengan sebaik mungkin, dicangkulpun dengan penuh perasaan supaya tidak terluka hati sang tanah kata Marhaen. Heran kami dibuatnya. Pupukpun disebar dengan penuh keseimbangan biar tidak pada iri katanya. 

Memang sawah yang dibajak Marhaen berbeda dengan sawah lainnya, lebih subur dan banyak berasnya. Marhaen memang hebat, sayang sawahnya sudah disita negara. Masih banyak Marhaen-marhaen yang lain kami percaya itu, tetapi sampai kapan Marhaen akan menjadi indonesiers, kami inlanders tak tau.  

Murni khuarizmi_Jakarta barat

06 Juni 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun