Dan nekat berjuang menyekolahkan anak kami, setidak-tidaknya sampai ia secara ikhlas mengundurkan diri karena kasihan melihat bapaknya yang tertatih ini. Kadang kami berpikir kapan kami menjadi Indonesiers, memakai baju putih bersih bersepatu licin tak kuatir hari esok menjelang. Apa yang dilakukan oleh bapak si Indonesiers sampai anaknya bisa hidup nikmat seperti ini.
Mungkin Indonesiers heran kenapa Inlanders tetap ada dan semakin bertambah saja, bukankah kemerdekaan telah menjadi jembatan emas menuju kebahagian. Mungkin dia lupa pidato bung Karno; Kita adalah kumpulan kuli di tanah sendiri dan menjadi kuli bangsa lain; mental kuli ini begitu susah dihapus sehingga membatu didada Indonesiers untuk memiliki kuli juga. Sehingga kini yang ada Kuli Besar dan kuli kecil.Â
Kamilah kuli kecil itu, inlanders. Karena Indonesiers mem-butuhkan kulilah maka kami Inlanders ada, kami dibiarkan tetap ada untuk mengurus pekerjaan kotor yang tak mungkin dikerjakan oleh tangan-tangan halus Indonesiers. Berulang kali kami minta berhenti dari pekerjaan itu, tetapi Indonesier mengatakan cuma itu pekerjaan yang ada, terima atau tidak.
Kami inlanders tidaklah seperti kumpulan pemuda pemalas yang tak mau jadi kuli bangunan dan lebih suka merampok orang Cina demi sebungkus nasi. Kami adalah kuli, karena menjadi kuli dapatlah disebut bekerja yang halal. Harga diri kami walaupun terus terkikis oleh derita, terlalu berharga untuk dikorbankan demi sebungkus nasi.Â
Kami tak mau menjadi Licius Publicius. Lucius Publicius adalah prajurit kekaisaran Roma dibawah pimpinan Kaisar Augustus yang mangkir dari keprajuritan demi merenguk kenikmatan di tanah taklukan. Sampai ajal menjelang, hartanya yang bertumpuk tak mampu membeli harga dirinya yang telah hancur. Kami inlanders bukan Lucius Publicius, kami tetap mencari kerja dengan hati yang suci dan bersih.
Tetapi kami memang tertekan sekarang ini, Indonesiers menaikan harga-harga dengan alasan krisis. Krisis buat Indonesiers seperti berita kiamat rasanya, mereka tiba-tiba menjadi panas dingin karenanya, dan meracau membuat resah saja.Â
Dan sementara kami inlanders, krisis adalah teman seperti matahari terbit. Tak resah kami karena krisis, karena setiap hari krisis datang. Mulai dari anak-anak yang kelaparan, pekerjaan yang tak dibayar, istri yang mengeluh dan sebagainya. Kami tiba-tiba menjadi buta dan tuli ketika krisis datang, sehingga kami tak melihat dan tak pula mendengarnya.Â
Hanya hati kami yang berbicara. Dan sejam kemudian krisis pun berlalu dengan sendirinya. Sekeliling kami tiba-tiba mengerti dan patuh kepada hati kami yang berbicara, merekapun diam.
Indonesiers tidak bisa melakukan itu, mereka cenderung menyerang dan menyalahkan orang lain ketika krisis datang. Dan tiba-tiba menimpakannya kepada inlanders. Terus terang kami kecewa, tetapi tangan kami terlalu pendek menjangkau leher Indonesiers, untuk mencekiknya sampai mati. Akhirnya kami semakin berat merangkak, dan jarak pun semakin jauh untuk menjadi Indonesiers.Â
Heran memang, kenapa kami ingin menjadi Indonesiers, padahal jelas-jelas Indonesiers tak baik sifatnya. Kami tak punya pilihan, disini cuma ada Inlanders dan Indonesiers. Dan hukum selalu memihak Indonesiers, seperti hukum titanic memang, orang kaya selalu mendapat pelayanan lebih baik. Inilah dunia. Dan kami Inlanders mengerti betul tentang ini.
Ada beberapa Indonesiers yang mencoba membela hak-hak inlanders, tetapi akhirnya mereka seperti Lucius Publicius pada saat hak-hak mereka terancam oleh Indonesiers yang lain. Akhir dari Indonesiers seperti itu cuma 2: berubah menjadi Inlanders atau tetap Indonesiers.Â