Ada banyak kisah tentang Indonesiers yang menjadi Inlanders. Salah satu yang terburuk adalah Indonesiers yang sangat kaya, terjebak kedalam hedonisme dan hura-hura, sampai anak-anaknya tak terurus. Suatu hari ia jatuh sakit dan banyak harta harus dijual untuk berobat sana-sini. Akhirnya mati juga setelah harta ludes. Sisa harta yang dulu tak mungkin habis itu, ternyata tak cukup untuk menghidupi anak-anaknya yang rakus tak pintar mencari kerja.Â
Dan akhirnya ludes juga. Anak-anaknya berubah menjadi Inlanders dan bahkan beberapa menjadi gila. Sadis memang dunia ini. Tetapi kami Inlanders tetap menerima 'mualaf' dan kini mereka mantan Indonesiers itu mulai menerima keadaan dan menjadi kuli bersama kami.
Beberapa dari teman kami inlanders sudah menjadi indonesiers berkat kerja kerasnya, dan bahkan menjadi milyuner. Mereka sering mengucapkan pameo : 'dulu saya memulai bisnis ini dengan modal dengkul', buat kami itu terkesan basi, kami tau sebenarnya apa yang terjadi, ia menjadi Lucius Publicius dan itulah yang sebenarnya terjadi.Â
Karena sampai kini ia menutup mata atas kepapaan sekelilingnya dan menjadi rakus akan kenikmatan. Padahal dulu sudah kami ajarkan, ada suatu fase dimata kekayaan itu menjadi tetap nilainya. Tetapi ia terus mencari-cari dan sedikit sekali dermanya. Patungnya yang besar tak akan menutupi siapa dia sebenarnya.
Beberapa lagi sudah menjadi Indonesiers dan mem-bantu inlanders, tetapi yang terjadi akhirnya mereka menjadi inlanders lagi dan mengerutu tentang hidupnya yang bodoh sekali tak menggunakan kesempatan ketika menjadi Indonesiers untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Kini anak-anaknya sedang berjuang untuk menjadi Indonesiers. Semoga berhasil teman.
Kami inlanders kadang tak mengerti kenapa kami menjadi Inlanders. Kami melihat TV dan mendengar dengan jelas hak-hak kami akan dibela dan kami selalu dijadikan alasan untuk reformasi. Tetapi herannya kami tetap begini aja, apa mungkin kenikmatan itu diperoleh oleh inlanders yang lain? Tetapi terakhir terdengar kata Indonesiers, kaum inlanders bertambah banyak. Lalu untuk apa siaran TV itu diperdengarkan, lebih baik matikan saja TV itu dan bekerja atau tidur.
Rupa-rupanya tidurpun tak nikmat, karena atap bocor dan sekarang musim hujan, dan kami pun bekerja lagi memperbaiki atap yang bocor. Bekerja dan bekerja itulah hidup kami sehari-hari, dan tak juga membaik kondisi kami. Mungkin menjadi inlanders dijaman perang dulu lebih enak, karena belum ada indonesiers.Â
Semua yang penduduk pribumi adalah inlanders. Jadi semua berpikir suatu hari disaat kemerdekaan terjadi, maka semua inlanders akan berubah menjadi Indonesiers. Pemikiran ini membuat semua inlanders berjuang sekuat tenaga untuk mengusir kolonialisme dari tanah air.Â
Tetapi yang terjadi hanya sebagian yang pintar membaca keadaan yang mampu menjadi indonesiers, dan sebagian yang lain tetap menjadi inlanders di tanah sendiri. Indonesiers menyalahkan Indonesiers yang lain karena hanya menyelamatkan diri sendiri, tetapi jawaban indoneisiers yang lain tak kalah sadisnya, dengan menyebut kita memang membutuhkan inlanders. Inlanders harus tetap ada! Sadis memang si Indonesiers satu ini.
Tetapi kami inlanders tak ambil pusing, toh suatu hari kami akan menjadi indonesiers juga, tidak hari ini maka esok.
Marhaen adalah inlanders, yang rajin mengubah nasib. Setiap hari ia mencangkul sawah tuannya, karena sawahnya sudah disita oleh negara dengan alasan tak ada surat warisnya. Marhaen cuma menggerutu saja.Â