Ada ketakutan yang mengendap dalam jiwa. Hanya membara, bagai cahaya yang membara. Ketakutan itu membara, merasuki rongga-rongga yang ada dalam pikiran untuk menanamkan sedikit bayangan kematian, namun dengan cara membisu.
"Semoga ketakutan ini hilang ditelan cahaya Angin Malam," lirihku dalam harap.
      Sekujur tubuhku bergetar, membayangkan golok itu memenggal kepalaku dan juga anak-anakku. Aku yang hanya seorang petani di sebuah ladang kecil, tak akan mampu untuk menahannya, walau itu hanya berupa hembusan napas yang ia keluarkan dari lubang hidungnya. Ia adalah jelmaan dari sosok-Nya yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ia adalah wakil Tuhan di pelosok ini.
      Tak ada yang mampu menentangnya, bahkan para malaikat sendiri pun takut untuk menatap wajahnya. Pernah suatu malam, kulihat salah seorang malaikat terbaring kesakitan di dekat pohon kelapa depan rumahku. Malaikat itu meronta kesakitan, sayapnya sebelah kanan terlihat patah dengan bulu-bulu yang hangus terbakar.
      "Aku adalah malaikat pencabut roh yang diutus oleh Tuhan untuk menyampaikan pesan kematian," bisiknya padaku dengan sorot yang mengisyaratkan ketakutan, sesaat sebelum berubah menjadi abu yang dikelilingi cahaya.
      Aku sejak saat itu selalu dikelilingi oleh awan hitam yang berisi ketakutan. Pikiranku meneriakku sendiri, "Jika para malaikat saja yang menjadi pasukan Tuhan saja bergetar ketakutan menatapnya, apalagi aku yang sampai saat ini merasa belum bertemu dengan Tuhan sekalipun."
      Aku hanya berdiri di depan pintu rumahku, dengan kaki yang setelah setiap sekian detik menghentakkan pada ubin-ubin.
      Istriku hanya menatapku dengan menggendong anak semata wayangku.
      "Suamiku, bahkan sepuluh tahun saat golok itu menebas lehermu, namamu akan menebarkan aroma perlawanan yang sangat harum. Anak kita ini akan menyombongkan darahmu yang mengalir di tubuhnya pada semesta. Semesta akan memberinya mahkota atas namamu." Istriku berjalan ke arahku, menepuk pundakku yang bergetaran.
      Gerimis di luar tak kunjung usai, sepoi-sepoi angin juga masih kesana-kemari membelai rumah-rumah reyot tetangga dan milikku.
      "Aku,"- Kupandangi wajah istriku yang sedang menyembunyikan sedih dalam senyum palsunya --"Sedang menunggu Angin Malam."
      Aku tahu istriku sedang mencemaskan sakit saat kematianku, maka ia mencoba untuk membuatku saat tersenyum saat kematianku. Ia ingin aku tidak terlalu merasakan sakit saat rohku dicabut oleh, ia berpikir dengan tersenyum maka kematian akan terasa lebih indah.
      Itu adalah salah satu ajaran Angin Malam
      "Apakah Angin Malam akan datang? Bukankah ia adalah khayalan yang diciptakan untuk memperkenalkan ajaran moral, agar lebih mudah dipahami oleh kanak-kanak?"
      "Istriku, jika memang Angin Malam hanyalah sebatas tokoh fiksi yang dikonsep untuk menjadi pahlawan bagi kanak-kanak, lantas mengapa senyum palsu itu mekar di wajahmu?,"- Kutatap wajah istriku --"Aku mempercayai Angin Malam memanglah nyata, sebagaimana kenyataan bahwa perlawanan terhadap Wakil Tuhan adalah suatu keharusan."
       Brak! Pintu terbuka, seorang berpakaian hitam dengan golok di tangan datang. Wajahnya mengisyaratkan adanya darah yang harus tumpah pada sore ini. Kedatangannya diiringi oleh pekik takbir oleh pendukungnya.
      "Allahu Akbar...! Allahu Akbar...!" Takbir dari pendukung Wakil Tuhan membuat rumah reyotku bergetar.
      Sontak aku memberi isyarat kepada istriku agar ia berlari ke arah hutan lewat pintu belakang rumahku, pertumpahan darah ini tak akan mengenal arti perlindungan perempuan dan anak-anak pada masa modern.
      "Golok ini akan menancap di perutmu, atau menebas lehermu. Aku bisa menjamin itu," ucap Wakil Tuhan dengan memukulkan goloknya pada amben dekat pintu.
      Tubuhku bergetar ketakutan saat melihat silau golok itu yang tak sengaja mengenai kedua bola mataku. Aku yakin golok itu ia asah setiap hari, agar ia bisa menikmati ketakutan mangsanya akan kematian saat melihat golok itu.
      Sementara itu, suara-suara pendukung Wakil Tuhan semakin menggelora, seolah mereka ingin membunuhku dengan teriakannya. Mulut-mulut yang tadi hanya meneriakan takbir, kini menambahi teks teriakan mereka:
"PKI wajib mati!"
"Para penentang ajaran Tuhan harus dipenggal."
"Kepala anak Iblis itu harus dibakar."
       Wakil Tuhan menatap mataku, memastikan adakah ketakutan dalam hatiku.
      "Masih punya bara?" ucapnya.
      "Bara itu akan terus berkobar sampai kapanpun, bahkan setelah kau menghembuskan napas. Kau sama saja dengan Iblis yang menggunakan simbol-simbol keagamaan demi menutupi wajah busukmu."
      Ia hanya tersenyum sinis ke arahku.
      "Seandainya kau tidak mempermasalahkanku atas pencalonanku sebagai lurah kampung ini, maka bara itu tidak akan dicumbu oleh kecemasan. Aku tahu itu dari sorot matamu."
      Ia menyarungkan goloknya, mungkin berharap ia bisa bernegoisasi dengan sujudku.
      "Bukankah agama kita sama? Tuhan kita sama? Lalu mengapa kau menghalangi jalanku untuk menjadi lurah kampung ini?" Ia menatapku dalam-dalam.
      "Agama dan Tuhan kita memang sama, tetapi caramu beragama membuat itu tak lagi sama. Kau selalu saja menjadikan agama dan Tuhan sebagai kampanye atas kama yang ada pada dirimu."
      Ia tersenyum kecur ke arahku, mencoba terlihat tenang. Aku yakin ia sedang tersiksa dengan kepura-puraannya.
      Sementara itu, gerimis tadi sudah hilang ditelan oleh angin-angin yang datang dari arah tenggara. Ini bukanlah kabar baik, sebab hal ini membuat para pendukung Wakil Tuhan menumbuhkan ide pembakaran terhadap rumahku. Kutaksir belasan orang mulu menyulut obor mereka.
      "Ketika manusia mati, mereka akan dihimpit oleh tanah sebagaimana asal muasal mereka. Sementara para keturunan Iblis, mereka juga harus dihimpit oleh api ini." Kudengar suara mereka dari sayup-sayup mata Wakil Tuhan.
      "Kenapa kau tidak berprasangka baik kepadaku? Bukankah agama kita mengajarkan demikian?"
      Sesaat setelah Wakil Tuhan mengucapkan perkataan demikian, aku tahu bahwa itu adalah ucapan terakhirnya sebelum golok itu menebas leherku. Aku tahu itu bahwa perkataan itu adalah tawaran agar aku bersujud kepadanya untuk terakhir kalinya.
      Aku tahu itu.
      Kuhirup napas dalam-dalam, mencoba berpamitan dengan udara yang kuhirup.
      "Agama memang mengajariku untuk berprasangka baik kepadamu, tapi tindakanmu mengajarkanku pentingnya berprasangka buruk. Orang-orang menjulukimu sebagai Wakil Tuhan. Bagimu dan para pendukungmu itu adalah sebuah kehormatan, namun bagi kami itu adalah sebuah penghinaan untukmu yang selalu saja bertindak atas nama Tuhan dalam berpolitik. Wakil Tuhan, kau sangat hina sebagai manusia!"
       "Bangsat!" Wakil Tuhan mencabut goloknya lalu mengayunkannya ke leherku. Kurasakan aura golok itu pada kulit leherku meskipun ujungnya belum menyentuhku. Aku akan menyusul kedua orang tuaku yang nasibnya tak jauh berbeda dariku. Kututup mataku berharap bisa menikmati kematian ini.
      Aku mati?
      Sesaat kemudian kurasakan tubuhku terbang di angkasa. Rasnya aku sudah tidak mempunyai berat tubuh lagi. Apakah rasa hampa ini yang disebut dengan kematian, mengapa tidak menyakitkan?
      "Aku tidak akan mengucapkan selamat datang di kefanaan ini, sebab kau tidak pernah meninggalkan kefanaan ini," ucap seseorang di telingaku.
      Kubuka mataku.
      "Angin Malam!" jawabku dengan kaget.
      "Sayapku telah sembuh dari luka bakar dan terima kasih karena kau telah menemani kawanku saat ajal menjemputnya."
      Lalu bagaimana dengan Wakil Tuhan?
      Kulihat dari kejauhan rumah reyot dipenuhi asap tebal, tanda terbakar. Kulihat juga sebuah cahaya hitam yang memancarkan sinar yang sangat terang.
      "Itu adalah Wakil Tuhan yang membunuh kedua orang tuamu. Jasadnya telah terbakar bersama rumahmu. Salah seorang pendukungnya akan menjadi Wakil Tuhan yang baru," ucap Angin Malam.
Omah Wetan, 9 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H