"Para penentang ajaran Tuhan harus dipenggal."
"Kepala anak Iblis itu harus dibakar."
       Wakil Tuhan menatap mataku, memastikan adakah ketakutan dalam hatiku.
      "Masih punya bara?" ucapnya.
      "Bara itu akan terus berkobar sampai kapanpun, bahkan setelah kau menghembuskan napas. Kau sama saja dengan Iblis yang menggunakan simbol-simbol keagamaan demi menutupi wajah busukmu."
      Ia hanya tersenyum sinis ke arahku.
      "Seandainya kau tidak mempermasalahkanku atas pencalonanku sebagai lurah kampung ini, maka bara itu tidak akan dicumbu oleh kecemasan. Aku tahu itu dari sorot matamu."
      Ia menyarungkan goloknya, mungkin berharap ia bisa bernegoisasi dengan sujudku.
      "Bukankah agama kita sama? Tuhan kita sama? Lalu mengapa kau menghalangi jalanku untuk menjadi lurah kampung ini?" Ia menatapku dalam-dalam.
      "Agama dan Tuhan kita memang sama, tetapi caramu beragama membuat itu tak lagi sama. Kau selalu saja menjadikan agama dan Tuhan sebagai kampanye atas kama yang ada pada dirimu."
      Ia tersenyum kecur ke arahku, mencoba terlihat tenang. Aku yakin ia sedang tersiksa dengan kepura-puraannya.