Sementara itu, gerimis tadi sudah hilang ditelan oleh angin-angin yang datang dari arah tenggara. Ini bukanlah kabar baik, sebab hal ini membuat para pendukung Wakil Tuhan menumbuhkan ide pembakaran terhadap rumahku. Kutaksir belasan orang mulu menyulut obor mereka.
      "Ketika manusia mati, mereka akan dihimpit oleh tanah sebagaimana asal muasal mereka. Sementara para keturunan Iblis, mereka juga harus dihimpit oleh api ini." Kudengar suara mereka dari sayup-sayup mata Wakil Tuhan.
      "Kenapa kau tidak berprasangka baik kepadaku? Bukankah agama kita mengajarkan demikian?"
      Sesaat setelah Wakil Tuhan mengucapkan perkataan demikian, aku tahu bahwa itu adalah ucapan terakhirnya sebelum golok itu menebas leherku. Aku tahu itu bahwa perkataan itu adalah tawaran agar aku bersujud kepadanya untuk terakhir kalinya.
      Aku tahu itu.
      Kuhirup napas dalam-dalam, mencoba berpamitan dengan udara yang kuhirup.
      "Agama memang mengajariku untuk berprasangka baik kepadamu, tapi tindakanmu mengajarkanku pentingnya berprasangka buruk. Orang-orang menjulukimu sebagai Wakil Tuhan. Bagimu dan para pendukungmu itu adalah sebuah kehormatan, namun bagi kami itu adalah sebuah penghinaan untukmu yang selalu saja bertindak atas nama Tuhan dalam berpolitik. Wakil Tuhan, kau sangat hina sebagai manusia!"
       "Bangsat!" Wakil Tuhan mencabut goloknya lalu mengayunkannya ke leherku. Kurasakan aura golok itu pada kulit leherku meskipun ujungnya belum menyentuhku. Aku akan menyusul kedua orang tuaku yang nasibnya tak jauh berbeda dariku. Kututup mataku berharap bisa menikmati kematian ini.
      Aku mati?
      Sesaat kemudian kurasakan tubuhku terbang di angkasa. Rasnya aku sudah tidak mempunyai berat tubuh lagi. Apakah rasa hampa ini yang disebut dengan kematian, mengapa tidak menyakitkan?
      "Aku tidak akan mengucapkan selamat datang di kefanaan ini, sebab kau tidak pernah meninggalkan kefanaan ini," ucap seseorang di telingaku.