Aku tahu istriku sedang mencemaskan sakit saat kematianku, maka ia mencoba untuk membuatku saat tersenyum saat kematianku. Ia ingin aku tidak terlalu merasakan sakit saat rohku dicabut oleh, ia berpikir dengan tersenyum maka kematian akan terasa lebih indah.
      Itu adalah salah satu ajaran Angin Malam
      "Apakah Angin Malam akan datang? Bukankah ia adalah khayalan yang diciptakan untuk memperkenalkan ajaran moral, agar lebih mudah dipahami oleh kanak-kanak?"
      "Istriku, jika memang Angin Malam hanyalah sebatas tokoh fiksi yang dikonsep untuk menjadi pahlawan bagi kanak-kanak, lantas mengapa senyum palsu itu mekar di wajahmu?,"- Kutatap wajah istriku --"Aku mempercayai Angin Malam memanglah nyata, sebagaimana kenyataan bahwa perlawanan terhadap Wakil Tuhan adalah suatu keharusan."
       Brak! Pintu terbuka, seorang berpakaian hitam dengan golok di tangan datang. Wajahnya mengisyaratkan adanya darah yang harus tumpah pada sore ini. Kedatangannya diiringi oleh pekik takbir oleh pendukungnya.
      "Allahu Akbar...! Allahu Akbar...!" Takbir dari pendukung Wakil Tuhan membuat rumah reyotku bergetar.
      Sontak aku memberi isyarat kepada istriku agar ia berlari ke arah hutan lewat pintu belakang rumahku, pertumpahan darah ini tak akan mengenal arti perlindungan perempuan dan anak-anak pada masa modern.
      "Golok ini akan menancap di perutmu, atau menebas lehermu. Aku bisa menjamin itu," ucap Wakil Tuhan dengan memukulkan goloknya pada amben dekat pintu.
      Tubuhku bergetar ketakutan saat melihat silau golok itu yang tak sengaja mengenai kedua bola mataku. Aku yakin golok itu ia asah setiap hari, agar ia bisa menikmati ketakutan mangsanya akan kematian saat melihat golok itu.
      Sementara itu, suara-suara pendukung Wakil Tuhan semakin menggelora, seolah mereka ingin membunuhku dengan teriakannya. Mulut-mulut yang tadi hanya meneriakan takbir, kini menambahi teks teriakan mereka:
"PKI wajib mati!"