Siti Sa’adah*
Jika hatimu pernah dipalu godam oleh seseorang, dengan beringas dan dia sama sekali tidak peduli kondisimu saat itu apakah kamu tidak akan merintih perih? Kemudian dengan susah payah kau lap air mata yang tak berkesudahan dan akhirnya lelah. Lelah merasa merana. Lantas hanya tekad yang mencuat: tidak akan ada lagi tentang lelaki itu dihidupmu.
***
Dia kembali setelah menebas habis segala rasa bahagia dihatiku. Menyeretnya dengan kasar kemudian menimbunnya ke dalam bumi masa lalu seperti mengubur bangkai anjing, menginjak-injak dengan jijik. Setelah puas dia enyah di pelabuhan harapan yang entah.
Kawan-kawanku menjelma ranting yang berusaha menjeratku kembali dengannya. Rupanya mereka menyayangkan kisah yang punah. Dan ingin menemaniku bermesrah lagi, tentu saja dengan lelaki itu. Lelaki yang membongkar percintaan yang lanjur dikremasi. Dia merajuk mengusung bangkai kemesrahan, gunungan sesal dan memintaku untuk menerimanya. Bagaimana jadinya, luangan yang tersisa sekarang hanyalah lorong tanpa namanya. Bagaimana pula aku kuat membawa gunungan yang jadi bara itu?! Tolong bawakan pecahan laut saja kawan-kawanku, biar luruh api ini.
Dia mematung bermaksud mengerami telur-telur penyesalannya, berharap aku akan menetaskan kemudian lebur aku membuka pelukan. Tubuhnya tidak sehangat dulu pasti. Aku yakin benar dia adalah gumpalan bara yang bisa menjadikanku arang. Tidak, aku tidak rela. Aku masih punya mimpi keindahan.
Kuharap mulutnya bungkam, namun terus saja dia meluberkan ratap setelah melumat hatiku. Sekarang dia menirukan tangisanku yang dulu saat dia pergi dan acuh kepadaku. Tangisku yang meraung perih seperti angsa hidup yang dicabuti bulu di sekujur badannya. Ahai, begitu rapuh lelaki ini.
Rupanya aku menikmati posisi dimintai.
Dia telah binasa oleh harapan mencari penggantiku. Dia kalah. Sungguh mati aku tidak peduli. Biarkan kuberanjak dari kubang tangisan.
“Kau seperti mengerat nyawaku, Nila.” Tatapannya mengunciku.
“Apakah kau ingin mati sekalian?” Aku menantang kekalutannya. Aku tidak boleh luluh.
“Katamu dulu jika kita mulai membenci, ingatlah saat berkasih.” Dia berusaha mengumpanku dengan masa lalu. Tatapan matanya menyiratkan keinginan untuk menguasaiku.
“Bukan mulai, tetapi benciku sudah mengerak Barka!” Kubanting kenyataan.
Sungguh jahanam. Dia menyodorkan rekam perkasihan dulu. Dimunculkannya slide-slide hangat dekapan, panas ciuman dan kobar percintaan. Semua itu terakit dan melingkar mengepungku.
“Sejak kapan kau tuli Barka!” Aku lelah dan malu mengenang itu semua.
“Pesonamu yang menulikanku.” Datar dan dingin, matanya seperti lubang yang memintaku merasuk kedalamnya. Hampa.
“Ha ha ha…” Hanya tawa getir yang keluar dari mulutku, selanjutnya menjelma ngungu.
***
Maghrib berteriak dari micropon mushola. Menyeret gelap kemudian menyelimuti kengerian yang serentak menikamku. Senja masih tersisa, saat dia berkabar hendak menjalin tali yang terberai. Hendak menggenggam hatiku yang telah laju.
Bukan untukmu lagi, tetapi mengapa kau menghantui? Wujudmu benar-benar hantu yang aku tak mau berjajar. Muak aku sudah. Enyah kau dari hidupku. Harapan kemarin sudah jadi remah dari bingkai kaca yang indah, kau yang lantakkan! Dan kini tanganmu hendak menggenggam untuk mengutuhkannya kembali? Kau mau bersamaku dengan cara terus mengejar dan menikam dengan luka masa lalu? Aku harus memakai bahasa apa untuk mengungkapkan aku sudah tidak mau. Mengertilah. Berapa kali kita mengecap nikmat bersama. Namun itu tidak menjamin keabadian benar nyata. Bukankah kita adalah dua kayu kering yang terus bergesek dan mampu membakar hutan kemarau yang terus kita tangisi: kapan hujan rahmat sanggup dirasa?
***
Sekarang, aku harus memaklumi ketuliannya atau harus rela buta kenyataan? Tidak, aku tidak buta kenyataan. Kenyataan bahwa aku telah disakit-kulitinya. Sakit yang mencacatkan perasaan. Sakit yang mengoyak kebahagiaanku. Aku tidak buta, tetapi aku tidak sanggup lagi untuk bertahan…
Bentengku retak.
Airmatanya terus menggerus. Menggenang dan membandang. Lantak.
Dipuncak petang yang disambut terang pagi, Barka mendatangiku lagi, tidak banyak cakap,
“Bukankah kelaminku masih tertinggal di rahimmu?!”
Kalimatnya menyambar ketegaranku. Menelikung lantas dengan kuat menghujam. Kemudian dia berlalu. Barka masih sempat melihat tubuhku yang kaku dan keringat dingin yang menyumber dari kulitku.
selengkapnya:
http://sastra-indonesia.com/2011/01/barka/
SITI SA'ADAH lahir dan tumbuh di Jombang, penjaga warung kopi di dusun Gebangmalang desa Bandung kecamatan Diwek Kab.Jombang. Bergiat di Komunitas PSK ( Penikmat Sastra Kopi), Lembah Pring, HMP Bahtra Indonesia STKIP PGRI Jombang. Setiap pagi menjadi pelayan di Perpustakaan Al-Anwar Paculgowang.e-mail: bejodaroini@yahoo.com.hp 085731297922
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H