Mohon tunggu...
Rahmat Sularso Nh.
Rahmat Sularso Nh. Mohon Tunggu... Freeline -

Penulis dan Fotografer Lepas

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Barka

13 Maret 2011   07:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:50 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Katamu dulu jika kita mulai membenci, ingatlah saat berkasih.” Dia berusaha mengumpanku dengan masa lalu. Tatapan matanya menyiratkan keinginan untuk menguasaiku.

“Bukan mulai, tetapi benciku sudah mengerak Barka!” Kubanting kenyataan.

Sungguh jahanam. Dia menyodorkan rekam perkasihan dulu. Dimunculkannya slide-slide hangat dekapan, panas ciuman dan kobar percintaan. Semua itu terakit dan melingkar mengepungku.

“Sejak kapan kau tuli Barka!” Aku lelah dan malu mengenang itu semua.

“Pesonamu yang menulikanku.” Datar dan dingin, matanya seperti lubang yang memintaku merasuk kedalamnya. Hampa.

“Ha ha ha…” Hanya tawa getir yang keluar dari mulutku, selanjutnya menjelma ngungu.

***

Maghrib berteriak dari micropon mushola. Menyeret gelap kemudian menyelimuti kengerian yang serentak menikamku. Senja masih tersisa, saat dia berkabar hendak menjalin tali yang terberai. Hendak menggenggam hatiku yang telah laju.

Bukan untukmu lagi, tetapi mengapa kau menghantui? Wujudmu benar-benar hantu yang aku tak mau berjajar. Muak aku sudah. Enyah kau dari hidupku. Harapan kemarin sudah jadi remah dari bingkai kaca yang indah, kau yang lantakkan! Dan kini tanganmu hendak menggenggam untuk mengutuhkannya kembali? Kau mau bersamaku dengan cara terus mengejar dan menikam dengan luka masa lalu? Aku harus memakai bahasa apa untuk mengungkapkan aku sudah tidak mau. Mengertilah. Berapa kali kita mengecap nikmat bersama. Namun itu tidak menjamin keabadian benar nyata. Bukankah kita adalah dua kayu kering yang terus bergesek dan mampu membakar hutan kemarau yang terus kita tangisi: kapan hujan rahmat sanggup dirasa?

***

Sekarang, aku harus memaklumi ketuliannya atau harus rela buta kenyataan? Tidak, aku tidak buta kenyataan. Kenyataan bahwa aku telah disakit-kulitinya. Sakit yang mencacatkan perasaan. Sakit yang mengoyak kebahagiaanku. Aku tidak buta, tetapi aku tidak sanggup lagi untuk bertahan…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun