Mohon tunggu...
Muhammad Noor Fadillah
Muhammad Noor Fadillah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka menulis berbagai hal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bibir Suami

21 Juli 2024   09:27 Diperbarui: 21 Juli 2024   10:10 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain pribadi menggunakan Canva

Hanya gara-gara sebutir nasi yang menempel di sudut bibirnya ketika makan malam di restoran tadi, Raka malam ini harus menerima omelan yang berlanjut dengan perlakuan dingin istrinya. Sejak meninggalkan restoran, tak ada sepatah katapun yang keluar dari istrinya. Hingga mereka sampai di rumah dan tidur.

Kejadian ini bukan yang pertama kali. Istri Raka memang sering marah setiap kali melihat sebutir nasi menempel di bibir suaminya. Sementara Raka selalu mengaku tak pernah merasa jika ada nasi di bibir kecuali setelah ia menyapunya dengan tangannya sendiri.

Istri Raka merasa malu apalagi jika mereka makan di tempat banyak orang. Padahal selama menikah bertahun-tahun tak pernah ada masalah semacam itu. Istri Raka menjadi heran dengan kelakuan suaminya belakangan ini yang seperti anak kecil.

“Masa sih Mas, kamu tidak sadar kalau ada nasi di bibir? Atau setidaknya kamu sering-sering lah membersihkan mulut. Itukan bukan hal yang sulit,” ucap istrinya kesal.

“Bener deh. Aku sama sekali tidak merasa. Dan aku juga sudah membersihkannya. Tapi kenapa masih ada ya?” Raka heran sendiri yang membuat istrinya semakin kesal.

“Ini cermin. Bawa cermin ini setiap kali Mas makan!” perintah istri Raka sambil menyodorkan cermin kecil berbentuk bulat ke hadapan suaminya.

“Untuk apa cermin ini?” tanya Raka lagi.

“Tentu saja untuk Mas bercemin setiap kali selesai makan agar tidak ada lagi nasi yang menempel.”

Raka mengamati cermin yang ada di tangannya. Ia tak habis pikir kenapa harus sampai sejauh ini. Namun daripada istrinya terus-terusan marah, tak ada salahnya ia mencoba. Dari cermin itu, Raka bisa melihat wajahnya. Benar saja, masih ada nasi di dekat dagunya. Sejak saat itu Raka sering membawa cermin, khususnya ketika ingin makan di luar rumah.

Meski begitu, pertengkaran kecil antara Raka dan istrinya masih terus berlanjut. Membawa cermin ternyata tidak serta merta menyelesaikan masalah. Selain kadang lupa membawa, Raka juga merasa malu jika sering bercermin setelah makan. Baginya itu sesuatu yang aneh dan membuatnya risih.

“Ada nasi di bibir kamu,” ucap Istri Raka dengan nada ketus dan wajah kesal. Hari itu mereka sedang menghadiri acara pernikahan teman Raka.

“Mas tidak bawa cermin lagi ya?”

“Bawa. Tapi aku malu. Banyak temanku di sini,” jawab Raka setengah berbisik.

“Harusnya Mas lebih malu kalau ada nasi di bibir.”

Sssttt. Kamu kan bisa memberitahu. Tidak perlu marah-marah!”

“Berapa kali aku harus memberitahu, Mas? Aku sudah bosan. Masa Mas tidak bisa merasakan sendiri kalau ada nasi di bibir?”

Begitulah adanya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi hanya gara-gara sebutir nasi.

Istri Raka sangat mewanti-wanti karena punya pengalaman memalukan akibat ulah suaminya. Saat itu mereka sedang berkumpul di rumah orang tua dari istri Raka. Kebetulan banyak anggota keluarga lainnya juga berkumpul di teras depan sekadar untuk bercakap-cakap setelah makan.

Raka kemudian datang dan duduk di antara mereka dengan bibir masih berhias sebutir nasi bekas makan tadi. Anggota keluarga yang hadir saat itu tertawa kecil dan geleng-geleng kepala melihat kelakukan Raka. Istri Raka benar-benar malu. Beberapa kali ia memberi kode kepada suaminya agar segera membuang nasi di bibirnya. Namun sayang, suaminya tak paham.

“Kalau Mas masih saja berbuat seperti itu, mulai malam ini kita tidak boleh lagi makan di luar rumah. Tidak perlu menghadiri acara pernikahan atau acara makan apapun. Daripada hanya bikin malu!” ancam istri Raka. 

Malam itu Raka ingin mengajak istrinya menghadiri undangan makan-makan dari teman lamanya. Namun istrinya lagi-lagi harus marah karena kelakuan Raka yang masih saja menyisakan sebutir nasi di bibirnya.

“Jadi kamu benar-benar malu? Apa kamu malu punya suami sepertiku?” jawab Raka dengan suara meninggi.

“Kenapa Mas berkata seperti itu? Aku hanya heran, kenapa Mas bisa berkelakuan seperti ini. Bukankah dulu semuanya baik-baik saja.”

Raka terdiam dengan sedikit perasaan menyesal karena meninggikan suara. Selama ini ia selalu berkata lembut kepada istrinya. Hanya perkara nasi di bibir, ia menjadi marah. Raka menarik napas panjang.

“Aku minta maaf. Ini memang salahku. Kalau itu keputusanmu, aku terima. Tapi please, malam ini kita harus datang ke undangan teman lamaku ya. Tidak enak kalau sampai kita tidak datang,” Raka memelas.

Istrinya segera beranjak pergi. Namun Raka tak menyerah. Bagaimanapun ia harus datang.

Setelah dibujuk, istrinya memberi kesempatan terakhir kepada Raka. Kalau sampai Raka masih membuat malu dengan menyisakan nasi di bibirnya, maka ia tak mau lagi menemani menghadiri undangan yang ada makan-makannya.

“Kamu tau kenapa aku tadi sangat memohon ke kamu untuk kita datang ke undangan malam ini?” Raka melirik ke arah istrinya.

Tak ada tanggapan dari istri Raka. Masih terlihat raut wajah kesal. Sedari tadi ia hanya memandang ke luar mobil melalui jendela di sebelah kiri. 

Raka melanjutkan kalimatnya. “Karena tempat yang kita datangi ini adalah restoran yang dulu menjadi tempat aku menyatakan cinta ke kamu. Masih ingat, kan?" ucap Raka dengan senyum manisnya. Berusaha meredakan kekesalan istrinya. Namun istri Raka masih tak bergeming. Hingga akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.

Mereka mengamati sekitar. Walaupun sudah lama tidak ke tempat itu tetapi mereka masih familiar dengan meja-meja kayu, lampu gantung, dan beberapa hiasan dindingnya. Selama bertahun-tahun restoran itu masih tetap dipertahankan susunan dan suasananya. Hanya ada sedikit perubahan. Memanggil kembali memori romantis sepasang suami istri itu.

Kekesalan istri Raka mulai mereda. Ia sudah mau berbicara. Bahkan bercerita tentang masa lalu mereka di tempat itu.

Setelah berbicang hangat dengan teman lama Raka yang mengundang, mereka duduk di sebuah meja kayu yang memang diperuntukkan untuk dua orang.

Hidangan kemudian tersaji. Mereka pun menyantapnya. Suasana sudah cair. Mereka mengobrol seperti sedia kala hingga saling bercanda. Tempat itu benar-benar membawa mereka ke masa-masa awal menjalin hubungan.

Saat itu, istri Raka juga menyadari kesalahannya karena belakangan ini jadi lebih sering memarahi suaminya hanya karena hal yang sebenarnya sepele. Ia pun meminta maaf.

“Mas, ada nasi.” Tangannya spontan menyentuh bibir Raka dengan lembut. Membuang nasi yang menempel itu kemudian kedua pasangan itu terlibat tatap mata yang dalam.

Raka benar-benar menikmati momen yang selama ini tak pernah ia rasakan lagi. Sementara istrinya tiba-tiba terdiam dengan sorot mata kosong. Seolah menyadari sesuatu.

“Dek…Dek…,” ucap Raka membuyarkan lamunan istrinya.

“I…iya. Kenapa Mas?”

“Kamu baik-baik saja?”

“Iya. Aku baik-baik saja. Oh ya, bagaimana kalau besok kita makan di restoran ini lagi? Makanannya enak.”

Biodata Penulis:

Muhammad Noor Fadillah. Lahir di Martapura, 1998. Tinggal di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun