Mohon tunggu...
Mohammad Munir
Mohammad Munir Mohon Tunggu... Administrasi - Goverment Employer

Berusaha berbuat baik setiap saat dan selagi sempat....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Birokrasi, Dalam Kepungan Era Informasi Post Truth dan Kepentingan Politik

10 April 2022   20:17 Diperbarui: 10 April 2022   20:20 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Post- Truth dipahami sebagai  hal-ihwal komunikasi baik antara pemerintah dengan rakyat atau antar warga masyarakat berbentuk fake/false news, rumour, hoaxes, political lying, termasuk hate speech. 

Penyebab kemunculan tendensi ini juga beragam, antara lain  polarisasi politik dalam masyarakat, praktik politik yang cenderung mengabaikan etik dan justru bekerja dengan cara memecah belah masyarakat, kendali lemah atas media massa, merebaknya praktik jurnalisme buruk, atau sekadar akibat luapan informasi setiap saat yang terfasilitasi oleh teknologi informasi. 

Fenomena Post-Truth  terjadi semakin merata di era ketika dunia hampir sepenuhnya telah dikendalikan oleh media (media-driven world). Suasana ini memperlihatkan dominasi kekuatan informasi yang kurang terkendali.

egitu banyak tuduhan bahwa pemerintah dengan sengaja membatasi akses publik agar masyarakat tak lagi punya kesempatan untuk memeriksa dengan kritis letak kesalahan dari suatu kebijakan, program, atau regulasi. Begitulah pendapat umum yang sering kali dialamatkan kepada perilaku birokrat yang menjalankan roda  pemerintahan. Pro status quo, cenderung bertahan dan bersemayam dalam zona nyaman serta enggan berubah dan seringkali menjadi produsen hoax. Bahkan seorang ahli filsafat terkemuka Indonesia, Rocky Gerung pernah menyebut bahwa produsen hoax yang paling sempurna adalah pemerintah dengan segala kelengkapan  fasilitasnya.

Satu sisi ada benarnya, dalam beberapa kondisi pendapat tersebut sulit untuk dibantah. Namun sebaliknya, jarang sekali pihak yang mengulas dampak hoax  terhadap birokrasi. Padahal dalam kontek yang sama  birokrasi seringkali menjadi sasaran empuk.  Birokrasi seringkali menjadi korban framing atas nama kebebasan berekpresi sehingga menjadi pihak yang teraniaya atas merebaknya diskursus kontra produktif yang sengaja direproduksi secara masif atas kepentingan tertentu.

Data dari laman website kominfo mengatakan bahwa ada kurang lebih 800.000 situs penyebar hoax dan hate speech di Indonesia. Gelombang Post- Truth dan hoax selalu berjalan beriringan  sebagai akibat dari era keterbukaan dan memiliki peluang untuk menciptakan perpecahan dan permusuhan.

Dalam kondisi ini, birokrasi terasa menjadi begitu ringkih bahkan terpolarisasi sedemikian rupa sehingga mengurangi kepercayaan diri dan produktifitas kerja. Bertumbuhnya media online yang tak terkendali dalam atmosfir kebebasan informasi memunculkan banyak ragam karakter media. Mereka muncul dengan berbagai motif dan kepentingan. Hanya sedikit saja yang benar-benar dapat menjaga  independensi serta lepas dari kepentingan pribadi/golongan tertentu. Longgarnya regulasi, kurangnya fungsi kontrol dan minimnya kemampuan literasi masyarakat juga menjadi salah satu faktor menyebarnya bias informasi.

Begitulah  yang terjadi dalam ruang publik kita hari ini. Fenomena Post- Truth begitu terasa dalam keseharian. Hal ini bisa dipantau dari percakapan dan diskursus yang muncul atas informasi yang didapat dari berbagai sumber. Ragam informasi yang menjadi konsumsi publik  hari ini relatif sudah tak dapat dibendung dan diukur kadar kebenaran serta obyektifitasnya.

Jamak kita jumpai informasi baik berupa opini atau berita dengan aroma politis dan mempunyai tendensi/ menyasar target  tertentu terutama kepada birokrat, bahkan nampak dengan tujuan membunuh karkter atau sebaiknya memoles dan menyanjung secara berlebihan dengan mengabaikan fakta. Tidak sedikit kita baca deretan info yang masih belum terkonfirmasi kebenarannya menjadi bahan perbincangan hangat seolah kebenaran yang nyata.

Lantas bagaimana menyikapi gelombang Post-Truht yang semakin menggurita? Bagaimana pula birokrasi dapat bangkit dari keterpurukan akibat disinformasi yang tidak berimbang? Luapan informasi negatif yang semakin masif, jika tidak ditangani secara serius maka akan sangat mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Fungsi kehumasan yang sangat lemah dari institusi pemerintah turut memperparah keadaan. Rata-rata  tidak mempunyai kemampuan teknis yang memadai untuk sekadar memberikan perlawanan berimbang dengan sajian informasi yang menarik dan dapat diterima masyarakat.

Nah, dalam situasi seperti ini nampaknya seluruh  jajaran birokrasi perlu berbenah. Lebih aware, adaptif dan antisipatif menghadapi gelombang Post-Truth. Sebagai bagian dari budaya sensor mandiri terhadap berita-berita hoax, ASN juga perlu memperkuat pendidikan literasi.Optimalisasi fungsi kehumasan menjadi keharusan dengan akselerasi peningkatan kemampuan sumberdaya manusianya. Dengan langkah ini, harapan untuk mempertinggi kualitas layanan publik  dan menjaga netralitas birokrasi di Indonesia bisa terus berlanjut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun