Geliat menjelang tahun politik sudah mulai terasa hangat. Berbagai peristiwa penting di negeri ini mulai kental dengan nuansa kepentingan politik. Padahal residu akibat pengaruh pertentangan politik yang sudah berlalu masih belum sepenuhnya hilang. Kita juga merasakan bahwa pesta demokrasi yang menimbulkan friksi sangat tajam di tengah masyarakat juga sempat menimbulkan polarisasi dan persoalan serius  bagi  netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kita juga memahami, bahwa berbagai rambu mulai dari undang-undang, aneka peraturan turunan dan segala bentuk warning lainnya berupa surat dari kementerian yang berwenang sudah meneguhkan tentang netralitas ASN dan  secara ketat melarang keterlibatannya terhadap kegiatan politik praktis.
Namun entah karena tak terlalu paham atau karena kuatnya pengaruh politik, ternyata masih banyak ASN yang secara sadar atau tidak terseret dalam arena politik praktis. Kuatnya intervensi politik yang sejak lama berlangsung juga sering kali dituduh sebagai salah satu sebab disamping kenyataan bahwa memang ASN masih diberi hak politik. Netralitas ASN menjadi luruh di bilik suara karena sebagai warga negara yang baik akhirnya juga  harus menentukan pilihan. Akibatnya banyak ASN yang terpaksa harus mendapat sanksi karena dinyatakan terbukti melanggar prinsip netralitas.
Harus diakui, tahun politik hampir selalu memukul telak integritas birokrasi kita, khususnya pada soal netralitas ASN. Implikasi dari maraknya sebaran hoax dan hate speech yang dilakukan oleh ASN karena pengaruh politik menunjukkan adanya problem inheren dalam tubuh ASN, salah satunya menjadi partisan dan melakukan pelanggaran berupa keterlibatan dengan kegiatan politik praktis yang terpublikasi di muka umum.
Tentunya hal ini menciderai asas netralitas ASN. Banyaknya laporan  pelanggaran  merupakan symptom dan menjadi preseden buruk jika didiamkan yang pada akhirnya  akan  menjadi kerikil  dalam penyelenggaraan roadmap Reformasi Birokrasi yang tengah berjalan.
Kondisi demikian tentu tidak berdiri sendiri. Ada background perubahan sosial yang menjadi salah satu sebab terciptanya situasi ini terjadi. Ada fase Post-Truth yang telah menjadi fenomena tersendiri dan mewabah  di banyak negara, tak terkecuali Indonesia.
Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi informasi kontemporer yang membuka pintu  terjadinya banjir bandang  informasi yang justru kebanyakan merupakan polutan  karena berkonten berita-berita bohong yang tidak berdasar.
Istilah Post-Truth (pasca kebenaran) pertama kali digunakan oleh Steve Tesich pada tahun 1992 (Kamus Oxford). Sejak pertama kali muncul, istilah Post-Truth digunakan dalam kemiripan arti sebagai "menyebarnya disinformasi" di tengah masyarakat.
Dengan kata lain, Post-Truth adalah kondisi saat masyarakat lebih "membenarkan" ajakan, seruan, hasutan, atau propaganda pihak tertentu atas dasar emosi dan kesamaan perasaan.
Tidak terlalu penting, apakah ajakan, seruan atau hasutan itu benar atau tidak. Kondisi ini juga secara umum menyeret  masyarakat untuk lebih percaya kepada "pendengung" dari pada sederet fakta.
Post- Truth dipahami sebagai  hal-ihwal komunikasi baik antara pemerintah dengan rakyat atau antar warga masyarakat berbentuk fake/false news, rumour, hoaxes, political lying, termasuk hate speech.Â
Penyebab kemunculan tendensi ini juga beragam, antara lain  polarisasi politik dalam masyarakat, praktik politik yang cenderung mengabaikan etik dan justru bekerja dengan cara memecah belah masyarakat, kendali lemah atas media massa, merebaknya praktik jurnalisme buruk, atau sekadar akibat luapan informasi setiap saat yang terfasilitasi oleh teknologi informasi.Â
Fenomena Post-Truth  terjadi semakin merata di era ketika dunia hampir sepenuhnya telah dikendalikan oleh media (media-driven world). Suasana ini memperlihatkan dominasi kekuatan informasi yang kurang terkendali.
egitu banyak tuduhan bahwa pemerintah dengan sengaja membatasi akses publik agar masyarakat tak lagi punya kesempatan untuk memeriksa dengan kritis letak kesalahan dari suatu kebijakan, program, atau regulasi. Begitulah pendapat umum yang sering kali dialamatkan kepada perilaku birokrat yang menjalankan roda  pemerintahan. Pro status quo, cenderung bertahan dan bersemayam dalam zona nyaman serta enggan berubah dan seringkali menjadi produsen hoax. Bahkan seorang ahli filsafat terkemuka Indonesia, Rocky Gerung pernah menyebut bahwa produsen hoax yang paling sempurna adalah pemerintah dengan segala kelengkapan  fasilitasnya.
Satu sisi ada benarnya, dalam beberapa kondisi pendapat tersebut sulit untuk dibantah. Namun sebaliknya, jarang sekali pihak yang mengulas dampak hoax  terhadap birokrasi. Padahal dalam kontek yang sama  birokrasi seringkali menjadi sasaran empuk.  Birokrasi seringkali menjadi korban framing atas nama kebebasan berekpresi sehingga menjadi pihak yang teraniaya atas merebaknya diskursus kontra produktif yang sengaja direproduksi secara masif atas kepentingan tertentu.
Data dari laman website kominfo mengatakan bahwa ada kurang lebih 800.000 situs penyebar hoax dan hate speech di Indonesia. Gelombang Post- Truth dan hoax selalu berjalan beriringan  sebagai akibat dari era keterbukaan dan memiliki peluang untuk menciptakan perpecahan dan permusuhan.
Dalam kondisi ini, birokrasi terasa menjadi begitu ringkih bahkan terpolarisasi sedemikian rupa sehingga mengurangi kepercayaan diri dan produktifitas kerja. Bertumbuhnya media online yang tak terkendali dalam atmosfir kebebasan informasi memunculkan banyak ragam karakter media. Mereka muncul dengan berbagai motif dan kepentingan. Hanya sedikit saja yang benar-benar dapat menjaga  independensi serta lepas dari kepentingan pribadi/golongan tertentu. Longgarnya regulasi, kurangnya fungsi kontrol dan minimnya kemampuan literasi masyarakat juga menjadi salah satu faktor menyebarnya bias informasi.
Begitulah  yang terjadi dalam ruang publik kita hari ini. Fenomena Post- Truth begitu terasa dalam keseharian. Hal ini bisa dipantau dari percakapan dan diskursus yang muncul atas informasi yang didapat dari berbagai sumber. Ragam informasi yang menjadi konsumsi publik  hari ini relatif sudah tak dapat dibendung dan diukur kadar kebenaran serta obyektifitasnya.
Jamak kita jumpai informasi baik berupa opini atau berita dengan aroma politis dan mempunyai tendensi/ menyasar target  tertentu terutama kepada birokrat, bahkan nampak dengan tujuan membunuh karkter atau sebaiknya memoles dan menyanjung secara berlebihan dengan mengabaikan fakta. Tidak sedikit kita baca deretan info yang masih belum terkonfirmasi kebenarannya menjadi bahan perbincangan hangat seolah kebenaran yang nyata.
Lantas bagaimana menyikapi gelombang Post-Truht yang semakin menggurita? Bagaimana pula birokrasi dapat bangkit dari keterpurukan akibat disinformasi yang tidak berimbang? Luapan informasi negatif yang semakin masif, jika tidak ditangani secara serius maka akan sangat mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Fungsi kehumasan yang sangat lemah dari institusi pemerintah turut memperparah keadaan. Rata-rata  tidak mempunyai kemampuan teknis yang memadai untuk sekadar memberikan perlawanan berimbang dengan sajian informasi yang menarik dan dapat diterima masyarakat.
Nah, dalam situasi seperti ini nampaknya seluruh  jajaran birokrasi perlu berbenah. Lebih aware, adaptif dan antisipatif menghadapi gelombang Post-Truth. Sebagai bagian dari budaya sensor mandiri terhadap berita-berita hoax, ASN juga perlu memperkuat pendidikan literasi.Optimalisasi fungsi kehumasan menjadi keharusan dengan akselerasi peningkatan kemampuan sumberdaya manusianya. Dengan langkah ini, harapan untuk mempertinggi kualitas layanan publik  dan menjaga netralitas birokrasi di Indonesia bisa terus berlanjut.
Kaitannya dengan politik, secara teori memang tidak mungkin birokrasi dapat sepenuhnya lepas dari kepentingan politik. Sebab pimpinan tertinggi mulai dari tingkat pusat sampai daerah adalah produk politik. Terdapat pemahaman umum bahwa karir seorang ASN dalam birokrasi sepenuhnya digantungkan pada pejabat publik hasil dari proses politik.
Pertentangan politik yang seharusnya menjadi bagian dari dialektika  demokrasi yang sehat menjadi kontra produktif ketika terlalu jauh mempengaruhi berjalannya roda birokrasi. Sejatinya jajaran birokrat dalam hal ini aparatur sipil negara (ASN) harus menjadi ujung tombak  pelaksana kebijakan pemerintah yang netral dan steril dari kepentingan politik. Namun sejak berpuluh tahun reformasi bergulir, netralitas ASN  tak kunjung mengejawantah dalam sikap yang profesional yang benar-benar lepas dari pengaruh politik.
Hari ini, kenerja ASN masih menjadi sorotan, diluar kontek permasalahan birokrasi yang terpapar hoax, birokrasi masih diselimuti persoalan klasik yakni rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Oleh karenanya, aspek netralitas perlu didiskusikan secara serius dan lebih hati-hati.
Landasan etis mengapa birokrasi wajib berlaku netral, karena birokrasi merupakan institusi publik yang dibangun dan dibiayai oleh uang rakyat untuk melayani semua lapisan masyarakat, oleh karena itu aparat birokrasi wajib terlepas dari ikatan partai politik maupun golongan tertentu (Setiyono, 2012:71). Â Netralitas birokrasi diperlukan untuk memastikan kepentingan negara dan publik secara keseluruhan berorientasi pada pelayanan, sehingga siapapun kekuatan politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakatnya (Firnas, 2016:170).
Argumentasi  ini menegaskan bahwa birokrasi harus dijauhkan dari kepentingan  politik praktis karena hal tersebut akan menciderai spirit publik. Meski para ahli menilai bahwa birokrasi adalah entitas yang mustahil netral dari ranah politik. Pandangan ini secara empirik bisa jadi benar, namun birokrasi secara inheren sejatinya harus memiliki pertahanan diri agar birokrasi tidak menggali kuburannya sendiri dengan membuka gerbang dan peluang pada keberpihakan. Upaya membangun pertahanan internal yang kuat  dalam tubuh birokrasi inilah yang perlu terus diaktualisasikan.
Secara administratif Indonesia sebenarnya telah memiliki Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang selama ini didaulat untuk menjalankan fungsi pengawasan. Pengawasan juga dilakukan oleh Kemenpan-RB, Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Dalam Negeri, Ombudsman Republik Indonesia, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kolaborasi lintas instansi dalam melaksanakan pengawasan ASN adalah keniscayaan agar dapat menjalankan fungsi dan kewenangan dengan lebih efektif.
Dalam menjalankan fungsinya, berbagai lembaga pemerintah tersebut  tidak akan  bisa bekerja sendiri. Diperlukan pengawasan partisipatif dari publik agar dapat mendorong birokrasi lebih bertanggungjawab secara sosial kepada masyarakat. Masing-masing pihak memiliki fungsi dan peran yang bisa disinergikan dalam menjaga netralitas birokrasi.
Membangun kesadaran kolektif  bahwa intervensi politik dan pelibatan ASN dalam arena politik praktis adalah sebuah pelanggaran yang nyata dan akan memperlemah birokrasi adalah hal yang sangat penting. Jika ingin birokrasi menjadi kuat dan profesional, awasi perilaku politik mulai dari pusat sampai tingkat lokal yang justru  sering luput dari perhatian. Hapus anggapan bahwa karir ASN semata tergantung dari pimpinan hasil/produk politik. Tanamkan pengertian sekaligus pratik bahwa karir ASN  sepenuhnya tergantung dari kualitas dan kompetensi dari pada sekedar  lobi-lobi dan kedekatan pribadi.
Jangan hanya fokus mencari kesalahan atas perilaku ASN tanpa memahami sebab dan menyelesaikan akar persoalan yang melingkupinya. Terakhir, negara harusnya juga konsisten memberikan contoh dalam bentuk perilaku, jangan sampai kedekatan  dan afiliasi politik menjadi syarat utama dengan mengalahkan  pertimbangan obyektif berupa kapasitas, kompetensi dan profesionalisme dalam kebijakan pengisian jabatan strategis di berbagai sektor.
Disclaimer : Artikel ini pernah dimuat di radar Jember Edisi Selasa 22 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H