Semasa saya aktif di lingkungan Nahdlatul Ulama, di jajaran Pimpinan Pusat GP Ansor maupun Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia, saya kerap mendorong dan merekomendasikan teman-teman untuk mengikuti berbagai jenjang jenis kursus, pendidikan maupun pelatihan di Lemhannas. Hasilnya penuh harapan, baik dan punya nilai tambah (addit values) yang bisa diandalkan baik di tingkat birokrasi, kepemimpin politik, sosial maupun di sektor lainnya. Ada juga yang masih mempertanyakan, buat apa ada Lemhannas, itu kan warisan Orde Baru, yang saat ini kederisasi kepemimpinan telah beralih ke partai politik, korporasi maupun lembaga civil society ? Â
Dari sisi saya, kesan awal, mulanya mengenal Lemhannas merupakan bagian dari instrumen kelembagaan saat Orba berkuasa. Lemhannas, sebagai lembaga indoktrinasi Orde Baru. Setidaknya, apa yang menjadi gagasan besar dan visi luhur berdirinya Lemhannas telah dibajak oleh rezim kekuasaan dan menjadi alat kepentingan kekuasaan. Â Serta merta seiring dengan makin derasnya gerakan anti Orba, Lemhannas termasuknya yang dianggap berperan melanggengkan doktrin dan kepentingan rezim disikapi kritis oleh sebagian masyarakat.
Lemhannas dikesankan sebagai lembaga yang mencuci otak, membekukan daya kritis dan kecerdasan warga, menjadi alat pembenar dan legitimator apapun kebijakan penguasa. Setidaknya deretan kritik itu pernah muncul pada waktu tertentu.
Terlebih di tengah arus besar bak bola salju, gerakan reformasi terus menggelinding. Gerakan mahasiswa gelar demo anti KKN dan menggema teriakan bubarkan ABRI (termasuk di dalamnya POLRI) yang dianggap sebagai pangkal militerisasi.Â
Saat itu, saya menjadi bagian dari gerakan mahasiswa di garda depan, termasuk bersama kelompok Cipayung dan barisan Pemuda Ansor dan ormas kemahasiswaan dan kepemudaan bersama geakan rakyat dari ragam komunitas. Baik saat saya menjadi pimpinan lembaga senat mahasiswa maupun pentolan di ormas kepemudaan nasional, situasi dan kontek kebangsaan saat itu, merangsang nalar dan akal sehat, menggugah nurani, bagaimana kaum muda merespon dan ikut memberi solusi ?
Kami tumbuh dalam suasana keberpihak yang kuat terhadap arus perubahan. Semangat anti otoritarianisme, militerisme dan anti KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) yang mendarah daging sehingga menghancurkan rasa keadilan dan melukai amanah penderitaan rakyat. Rasanya kami dijajah oleh bangsa sendiri. Terngingat selalu apa kata Bung Karno.Â
Saat memimpin kemahasiswaan dan organ kepemudaan nasional, saya bersama para tokoh pemuda menyempatkan berziarah ke tempat Gedung Indonesia Menggugat di Bandung. Saya juga merasakan, suasana sempit, pengap dan gelapnya kamar Bung Karno saat menuliskan Pledoinya di penjara. Petikan Pledoi
Bung Karno, saat saya duduk di bangku tua yang masih asli yang pernah diduduki Bung Karno ketika diadili pengadilan Belanda, bikin saya merinding. "Tugas saya berat melawan penjajah bangsa asing, kelak tugas kalian akan lebih berat, karena akan berhadapan dengan kaum penjajah dari bangsa sendiri".
Akhirnya gerakan reformasi bergulir cepat. Bahkan sangat cepat, tak terbendung. Targetnya hanya satu, Presiden Soeharto harus mundur atau dimundutkan, turun atau diturunkan. Barisan mahasiswa dan rakyat turun ke jalan jadi satu. Meskipun sempat diwarnai aksi kerusuhan dan kekerasan, termasuk mengorbankan mahasiswa dan rakyat sipil, barisan idealis terus lantang dan bersatu untuk menuntut rezim turun dari tahta kekuasaan.
Membangun Dialog
Saat itu saya menjadi Presidium Mahasiswa Pascasarjana Kampus IAIN Jakarta. Sembari, juga mendapat mandat dari Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor / Banser. Dalam sebuah gelaran nasional, upaya membangun rekonsiliasi nasional yang dikemas dalam Dialog Kemayoran, beberapa pimpinan aktivis dari Kampus, Ormas Pemuda dan ormas Islam pun diundang meskipun terbatas. Agendanya, kabinet baru bentukan Presiden Soeharto mau mendengar aspirasi dan mendapatkan respon langsung dari para tokoh nasional dan pimpinan gerakan kritis dan demonstran.