Sebelum memasuki markas itu kami harus melewati pemeriksaan yang ekstra ketat yang bagi saya sendiri sebenarnya agak mengherankan mengingat kami adalah tamu yang mereka undang. Begitu ketatnya pemeriksaan itu, sampai-sampai semua baju harus dibuka, kecuali celana dalam. "Ini gila", gerutu saya. Tapi kami kemudian diterima dengan baik. Kami mendiskusikan banyak hal menyangkut isu mutakhir dan masalah keamanan di Asia Pasifik saat itu.
Yang membuat saya terperangah adalah ketika Thomas Case menguraikan peristiwa WTC dan mengatakan bahwa akar persoalan terorisme itu ada di Indonesia. Ia menyebut Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Thalib sebagai organisasi yang mereka curigai sebagai teroris.Â
Mendengar itu saya langsung berdiri dan mengatakan dengan kerja keras mengungkapkan dalam Bahasa Inggris yang pas-pasan. Dalam versi Indonesia, intinya saya menyampaikan : "Pendapat Anda salah. Anda harus mengkaji ulang penelitian Anda. Jika Anda berpegang pada pandangan itu, Anda akan berhadapan dengan umat Islam di dunia, karena Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia".
Forum hening. Mungkin tidak mengira saya akan bicara seperti itu. Lalu saya lanjutkan dengan penjelasan bahwa Laskar Jihad itu hanya suatu unit yang dibentuk untuk kepentingan situasi lokal di Indonesia saat itu seperti menghadapi Sidang Istimewa MPR, kepentingan persaingan politik internal, kemudian ada kepentingan lain untuk mengatasi konflik di Ambon.
Kami sangat paham tentang kekuatan dan keterbatasan mereka, karena kami tahu siapa mereka dan yang terkait dengan mereka. Mengakhiri penjelasan, saya tantang mereka. "Saya berani mempertanggung-jawabkan bahwa pendapat yang Anda katakan itu salah. Menurut saya, pemberantasan terorisme harus menjadi tanggung jawab bersama, Anda harus hapuskan pandangan seperti itu dan kita mulai dari awal untuk melakukan suatu identifikasi secara objektif."
 Saya kira Letnan Jenderal Thomas Case dan yang hadir di sana cukup bisa menerima pandangan saya. Buktinya, mereka kemudian mulai beralih ke isu Jamaah Islamiyah yang mereka sebut sebagai jaringan terorisme di Asia Tenggara. Terus terang saja, di antara 14 negara yang hadir saat itu, kita dari Indonesia yang paling mendapat sorotan, karena soal isu terorisme tadi.
Teman saya Jamaludin Faisal Hasyim berbicara tentang pendidikan anti-kekerasan, dan seorang teman dari Aceh, Muslahuddin Daud, berbicara tentang pengalaman Aceh dalam menyelesaikan konflik vertikal. Uniknya Muslahuddin ini adalah pemuda Aceh yang sangat pro GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
 Momen penting dalam 12th New Generation Seminar Participants  tersebut diikuti delegasi dari India, Filipina, Jepang, Singapoe, Malaysia, Thailand dan dari Amerika Serikat. Indahnya pertemuan berbeda bangsa, beragam agama dan kepercayaan, yang saling menghormati dan menghargai dalam semangat Bersama sebagai warga global.Â
Saya yang terlahir dari sebuah kampung pasundan di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat tak pernah membayangkan sebelum, akan bisa Bersama mereka. Rasa syukur ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, atas kesempatan bisa belajar, saling mendengar, dan bertukar pengalaman tentang bangsa dan negara masing-masing.