Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kolonial Heritage Journey 10

28 April 2021   10:19 Diperbarui: 29 April 2021   04:48 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pelabuhan Sunda Kelapa. Dokpri
Pelabuhan Sunda Kelapa. Dokpri
Mercusuar Sunda Kelapa. Dokpri
Mercusuar Sunda Kelapa. Dokpri
Mobil meninggalkan museum sejarah Jakarta atau stadhuis masa Belanda. Menyusur jalan kawasan kota tua, disebelah kiri nampak berdiri rapuh jembatan khas negeri Belanda menghubungkan dua sisi sungai.

Jembatan yang diberi nama Kota Intan, konon itu adalah satu satunya jembatan khas Belanda yang masih tersisa di Jakarta. Namun sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana tujuan dibuatnya. Aslinya adalah jembatan hydraulik yang bisa dibuka  tutup ke atas bawah manakala ada kapal pengangkut barang cukup besar akan melintas. Misalnya kapal dari Sunda Kelapa ke daerah Glodog atau sebaliknya. Karena kini memang kanal Jakarta tidak bisa lagi dilalui kapal agak besar. Jadilah sekarang jembatan Kota Intan tidak pernah dibuka tutup lagi, berfungsi hanya sebagai destinasi wisata kolonial heritage saja.

Replikasi kota tua Batavia sebagai tiruan Amsterdam, yaitu kota seribu kanal tidak terwujud. Hingga sampai sekarang Jakarta gampang banjir. Kalau saja master plan seribu kanal itu berhasil di Jakarta, barangkali akan lain ceritanya setiap musim penghujan datang luapan air terkendali.

Melewati bekas bekas reruntuhan tembok Batavia terlihat kusam tak terurus, disuluri akar akar pepohonan liar besar. Membayangkan seandainya benteng Batavia sepanjang 5 km itu masih eksis, tentu kota tua ini akan semakin menarik dan lengkap sebagai andalan destinasi wisata Jakarta.

Dari gadget nona google map memberitahu bahwa sepuluh menit lagi mobil baru sampai Sunda Kelapa. Sambil memandangi sekitar masih terngiang penjelasan Utam saat di pintu keluar museum wayang. Bahwasanya semua dalang top Indonesia itu pernah menggelar pementasan wayang kulit di museum wayang. Baik dalang gagrak Solo, gagrak Yogya, Cirebonan, Bali, Kedu ataupun Banyumasan dan lainnya.

Sebagai remaja penggemar wayang yang tumbuh dipinggiran kota Solo, kala itu fanatik hanya menggemari wayang kulit gagrak Surakarta atau Solo.

Jaman dulu banyak fanatikus wayang kulit yang sering membandingkan mana yang lebih baik dan indah dari semua gagrak. Terutama persaingan dua  mainstreamnya, yaitu gagrak Solo dan Yogya. Orang Yogya bilang wayang kulit Yogya yang paling adiluhung. Sebaliknya orang Solo mengklaim wayang gagrak Surakarta lah yang terbaik.

Dari perbedaan kelir, blencong, bentuk dan ekspresi wayang. Sampai warna suara kepyakan, gedogan, irama gamelan serta bagaimana ki dalang berantawecana, suluk, sabetan dsb.  Awak dulu beranggapan Nartosabdo, Anom Suroto para dalang top gagrak Solo lebih bagus dan nyeni dibanding para dalang kampiun gagrak Yogya. Seperti ki Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito dsb.

Tapi ketika awak sekolah di Yogya dan sering nonton wayang kulit gaya Yogya mulai bisa menikmati dan menyukai seni pedalangan gaya Yogya itu. Kini kedua gagrak itu yang masing masing memiliki kelebihan merupakan harta tak ternilai seni pertunjukan budaya lokal. Terus berkembang dengan kreasi dan cirinya masing masing sejak terpisahkan oleh perjanjian Giyanti di kota kecil Karang Anyar tahun 1755, yang memisahkan kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian. Yogyakarta dan Surakarta.

Apalagi kini dengan hadirnya dalang dalang baru seperti ki Manteb Sudarsono dalang gagrak Solo yang hebat, halus mensinergikan kekuatan dari masing masing gagrak dalam satu pertunjukan. Demikian juga kiprah dalang fenomenal gagrak Yogya, ki Seno Nugroho yang mengaku sebagai pengagum ki Manteb. Menggabungkan gaya Solo dan Yogya ajur ajer mewujud dalam pagelaran yang semakin menarik dan berwarna  - sayang sekali dalang unik ki Seno Nugroho telah wafat di usia muda pada menjelang akhir tahun lalu -

Tadi saat mengiringi berjalan menuju tempat parkir, Utam juga menginformasikan bahwa dirinya  terdaftar sebagai guide program walking tour di kota tua. Walking toer jalan kaki dimulai pukul sembilan pagi start dari alun alun museum sejarah Jakarta. Para peserta akan berjalan seharian mengunjungi tempat tempat bersejarah dan menarik di kota tua. Walking tour lumayan lama dan panjang akan berakhir pukul tujuh malam.

Kedengarannya walking tour ini cukup menantang dan lama. Menarik layak dipertimbangkan.

Mobil menyusur jalan sejajar sungai. Sebentar lagi sampai di Sunda Kelapa.

Pelabuhan Sunda Kelapa Kala Senja

Pelabuhan Sunda Kelapa konon sudah eksis sejak abad 5 M sebagai titik penting penghubung transportasi laut dan sungai kerajaan Tarumanegara.

Kemudian awal abad 12 M, Kalapa - nama Sunda Kelapa waktu itu - semakin ramai menjadi bandar international. Disandari kapal kapal pedagang mancanegara dari India, Cina, Arab. Kemudian menyusul kapal Portugis dan Kapal dari negara Eropa lainnya.

Lewat pelabuhan ini pulalah Jan Pieterszoon Coen, komandan maskapij dagang Belanda VOC merebut dan menguasai Jayakarta. Selanjutnya merubah nama kota Jayakarta menjadi Batavia.

Perairan Sunda Kelapa, dokpri
Perairan Sunda Kelapa, dokpri
Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Jingga menggores langit. Alangkah senangnya bersua mantan kolega waktu masih aktif dulu yang kini menjabat General Manager pelabuhan Sunda Kelapa. Tentu suatu hikmat manakala berjumpa seseorang yang dulu kolega kini tetap bersahabat.
Sejenak ngobrol ngalor ngidul masa lalu dan harapan masa depan di kantor yang dulu beberapa kali disambangi. Obrolan nostalgia dan harapan masa datang.

Sunda Kelapa dulu adalah bandar vital pada masa Tarumanegara. Juga kerajaan selanjutnya Pajajaran dan pada jaman pendudukan VOC di Batavia.

Perdagangan rempah, ternak, hasil pertanian, sutera dan sebagainya menggunakan pelabuhan ini sebagai terminal kedatangan, tempat bersandar dan keberangkatan kapal kapal dagang kayu tradisional tujuan antar pulau maupun ke mancanegara.

Seiring dengan berkembangnya ukuran dan teknologi kapal, perairan Sunda Kelapa terlalu dangkal untuk bisa disandari kapal kapal dagang baru yang semakin besar ukurannya. Juga memerlukan teknologi dan cara bongkar muat berbeda.

Belanda pada tahun 1870 an mencari alternatif untuk membangun pelabuhan baru
-- barangkali hampir bersamaan dengan saat pembangunan lapangan golf tertua Indonesia, yaitu disekitar Rawamangun tahun 1872, yang kala itu bernama Batavia Golf Club. Sekarang lapangan itu masih operasi, yaitu Jakarta Golf Club --  yang selanjutnya dibangun pelabuhan Internasional lebih besar, yaitu pelabuhan Tanjung Priok.

Pelabuhan internasional Tanjung Priok terus berkembang hingga kini. Merupakan pelabuhan laut terbesar dan tersibuk di Indonesia. Sedangkan sejak keberadaan Tanjung Priok Sunda Kelapa menjadi pelabuhan untuk kapal kapal kecil.

Langit semakin meredup, angin laut sore beraroma khas menghembus pelan. Berlatar dua minaret Masjid gaya Turki menjulang di cakrawala panorama Sunda Kelapa sore itu terasa begitu romantik. Kami ditemani pak GM dan beberapa kolega IPC Sunda Kelapa menyusuri dermaga.

Ini tidak seperti yang awak bayangkan dan harapkan. Yakni jejeran kapal kapal kayu bersandar susun sirih masing masing terhubung dengan jembatan kayu melintang atau miring. Kemudian ada tenaga kerja bongkar muat telanjang dada betotot berkulit coklat kehitaman memanggul karung muatan sekitar setengah kuintal menuju ruang palka mendaki jembatan kayu itu. Sinar senja menerpa tubuhnya di jembatan miring, siluet berotot menyatu tertimpa bercak jingga. Moment yang selalu menjadi obyek foto epik favorit para turis untuk dijepret.

Momen itu kini jarang dijumpai.

Memang awak sudah sekitar sepuluh tahun tidak kesini, banyak terjadi perubahan fisik maupun cara kerja di Sunda Kelapa. Kapal kapal kayu ukuran sedang masih banyak bersandar berjejer sepanjang dermaga. Tapi tidak lagi dengan cara susun sirih. Buruh memanggul pun sulit lagi ditemui, kini cara manual panggul itu mulai ditinggalkan.
Kini kapal kapal kayu itu rata rata dilengkapi derek bongkar muat berukuran kecil. Derek yang sudah  menjadi bagian perangkat kerja kapal, dibawa kemanapun kapal pergi.

Small ship crane membikin bongkar muat lebih cepat, hemat. Buruh hanya membantu kerja crane, tak perlu lagi memanggul karung merepih jembatan kayu. Dan tentu saja pemandangan eksotis buruh pemanggul terpapar sinar mentari senja tak lagi ditemui.

Kapal kapal kontainer antar pulau dengan kapasitas muat 100 Teus atau 100 ukuran 20 kaki mulai bisa bersandar disini. Lapangan dengan tumpukan kontainer warna warni dibangun disana sini. Istilah pelabuhan rakyat bagi Sunda Kelapa kini berbeda nuansa dibanding masa sepuluh tahun lalu.

Lingkungan dan perairan Sunda Kelapa nampak bersih. Terasa nyaman berjalan  sore sore disini.

Kapal kelotok sewaan kapasitas enam orang telah menunggu di pinggir dermaga. Hati hati kami satu persatu melompat ke kapal kecil yang bergoyang goyang kiri kanan. Pak navigator dari Banten mengulurkan tangan membantu untuk keseimbangan.

Kapal kelotok dengan bendera Merah Putih berkibar di haluan berkelotok kelotok di perairan. Langit luas tanpa batas menaungi, perahu kecil tumpangan gagah berani meluncur arah cakrawala menjauhi tepian.

Perahu mesin dua tack tenang santai melewati kapal kapal kayu yang bersandar di kanan. Di sebelah kiri dua minaret masjid menjulang itu mulai menyala dibelakang tembok pembatas memanjang. Kumpulan anak telanjang dada ceria mandi laut, di sebelahnya siluet sosok pria berdiri di ujung jembatan kayu, asyik memegang wilah pancing. Matahari turun ke barat mendekat garis cakrawala.

Laut begitu tenang laksana kaca datar, perahu kelotok mendekati dam penahan gelombang. Di perairan menjulang dua mercu suar merah dan hijau berbentuk silinder runcing sebagai petunjuk gerbang keluar masuk pelabuhan. Kedua silinder raksasa beda warna itu seolah mengambang di laut, menjadi ikon penampakan fotograpik.

Menarik nafas dalam dalam menghirup udara segar tercampur garam, asin sehat melegakan. Betapa nikmat.

Merasa sangat bersyukur berada di alam luas tak terperi. Perahu kecil terapung apung menjadi bagian pesona senja kala. Alhamdulillah, membisikan rasa syukur.

Perahu merapat dam memanjang di laut. Kami satu persatu dan hati hati meloncat pelan keatas tanggul gelombang. Merentangkan tangan sembari mengibarkan merah putih perasaan tak terkira .... alangkah indah dan segar sore ini. Senja Sunda Kelapa jangan kau cepat pergi....

Setelah puas menikmati dan mengamati daratan Jakarta dari tanggul pemecah kolam, perahu kelotok putar arah waktu maghrib hampir tiba. Membelakangi horizon yang semakin meredup perahu kecil kembali ke tambatan.

Adzan maghrib melantun megah memenuhi angkasa Sunda Kelapa dari dua minaret Turki yang tlah berpendaran nyala. Perahu kelotok kembali sandar merapat.

Meninggalkan tepian dermaga,nampak siluet deretan kapal kapal kayu memantul di permukaan laut. Laut adalah cermin dan saudara tua daratan.
Hari nan panjang dan indah akan segera berlalu.

Perjalanan sehari sejak dari pasar loak jalan Surabaya, yang memberikan pengalaman bersua dengan karya master piece masa lalu ataupun produk masa kini yang dibuat seolah kuno. Kemudian pengalaman sejarah dan budaya dengan mengamati  benda benda sejarah di museum Nasional. Lalu melihat peninggalan jejak perjuangan para pahlawan dan sejarah Jakarta serta kisah kisah romantis tragis di museum Fatahillah. Terus merasakan sensasi dan nostalgi masa kecil di museum wayang yang menyegarkan jiwa dan ingatan.  

Mengakhiri hari di pelabuhan Sunda Kelapa, bandar niaga yang berfungsi strategis sejak ratusan tahun lalu. Merayakan sore melayari perairan nya.

Sungguh banyak pembelajaran, nostalgi, pengalaman dan optimisme diperoleh hari ini. Tentang luas dan kayanya sejarah dan budaya Nusantara.

Menjelang Isa, kami kembali pulang. Inilah kolonial heritage Journey edisi hari ini. Tak sabar rasanya lain hari segera mengunjungi peninggalan dan heritage heritage disekitar Jabodetabek lainnya.

Selamat tinggal siang, selamat datang malam. Kembali hari penuh arti dilalui, usia pun bertambah sehari. 


Dokpri
Dokpri
Sunda Kelapa. Dokpri
Sunda Kelapa. Dokpri
Dokpri
Dokpri
Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun