Perempuan beralis tebal yang dandanannya kurang sopan itu tiga kali ke rumah kami. Itu yang menjadi penanda awal nasib kelabu keluarga kami.Â
Kejadian itu saat kira-kira 5 bulan usia pernikahan kami. Ba'da dzuhur seseorang memencet bel rumah. Aku keluar dengan mukena. Begitu aku nongol di pintu seorang perempuan langsung memelukku dan sambil menangis meraung-raung. Getarannya sangat meyakinkan dan aku tidak paham. Di rumah sepi. Mas Diddy suamiku sedang di kantor.
 "Cup...cup... ada apa Mbak? Silakan masuk dulu?" Kataku bermaksud baik. Aku membimbing tamuku si alis tebal ini ke ruang tamu dan duduk di sofa toska kami.
 "Silakan minum dulu, Mbak" kuulurkan air mineral botol kecil yang kuambil dari meja memang khusus tamu. Kuterka usia mbak ini sepantaran aku: 21 tahun.
 Perempuan di depanku sudah mulai tenang sekarang. Nampaknya ia akan mulai mengatakan sesuatu. Tapi selaku tuan rumah, aku yang lebih dulu membuka obrolan.
 "Mbak kenapa? Saya bisa bantu apa?" Ucapku ramah.
 "Aku istrinya suami sampean, Mbak!" Kata itu meluncur tidak izin dari mulut mungil Mbak alis tebal itu. "Sebelum sama sampean, Diddy menikahi aku, Mbak,"
 Dwaaaar!!
 Kusekap mulutku agar tak teriak atau mengumpat.
 Lebih baik kutitikan beberapa bulir airmataku. Kini suasanany makin tak keruan.
 "Ini fotocopy surat nikah kami, Mbak!"