Bagiku kini semua hari dan semua waktu sama saja: Kelabu. Gelap. Pengap. Pesing. Anyir.
Dua tahun lalu aku kehilangan suami dan anak-anakku tercinta. Aku ikhlas saja. Mungkin memang sudah garis Tuhan begini.
Aku tak kurang apa pun. Aku cantik. Bahenol. Eh, maaf, ayu lah pokoknya. Suamiku seorang polisi sudah hampir naik jabatan ke kepala divisi. Anakku cantik-cantik dan ngegemesin. Si kakak Mei udah SD kelas 2 si adik Dira uda TK B. Aku? Ya kerjaannya dandan aja tiap hari.
Tapi yaa Allah. Nasib kok begini amat. Aku bagai ditampar tsunami. Kemarin terang benderang kini hujan ombak dan angin. Aku dihantam ombak diseret air. Dan Lalu aku ada di ruangan gelap begini sekarang.
Yang keparat adalah aku. Iya aku. Yang hina adalah aku. Makanya aku ada di sini.
"Mbak yang ridho ya?" Mahasiswi magang itu berusaha menghiburku. "Tawakallah, Mbak. Mbak pasti kangen kelurganya ya?"
Kujawab kangen banget. Dadaku jembar. Seolah keluargaku sudah di depan pintu dibawa Mbak Mahasiswi keperawatan ini. Tapi aku sudah tak bisa ngapa-ngapain bukan?
Si temanku ini sepertinya ikut sedih dan hanya tertunduk ibah.
Oiya, aku belum memperkenalkan temanku. Sekarang teman baruku adalah mbak mahasiswi cantik. Muslimah. Namanya Rinduri. Badannya bagus. Tinggi semampai. Kulit warna kacang mente. Hidungnya mancung. Matanya agak bulat lebar. Berkacamata. Cantik dia. Payudaranya kecil. Maklum belum menikah, mungkin.
Dia selalu baik sama aku. Bila dia menemuiku pasti dia selalu membawakan aku peyek khas Sidoarjo. Orang sana dianya memang. Aku sangat suka. Aku juga asli kota Delta itu.
Biasanya dia menemuiku lalu mengajakku dan menuntunku ke taman. Di sana ada kursi besi yang empuk. Bunga-bunga bermekaran dan harum semerbak. Aku berkisah macam-macam di sana sambil menikmati burung gereja mencicit dan hinggap di bunga satu ke lainnya dengan genit.