Mohon tunggu...
Mulyana
Mulyana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manuver Politik NU dalam Rangka Meneguhkan Tradisi Islam Nusantara

6 Maret 2019   17:40 Diperbarui: 6 Maret 2019   17:58 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munas para ulama Nahdhatul Ulama, NU yang digelar pada 27 Februari 2019 yang lalu, menghasilkan lima rekomendasi. Yaitu tentang sampah plastik, haramnya bisnis MLM, himbauan untuk tidak golput, dan dua lagi yang mengundang pro kontra yaitu tentang Islam Nusantara dan sebutan kafir bagi warga nonmuslim.

Dalam pandangan NU, Islam Nusamtara memiliki latar belakang sejarah yang panjang dan mengakar pada umat Islam bangsa Indonesia.

Masuknya Islam ke Nusantara memiliki karakter yang berbeda jika dibandingkan dengan wilayah lain. Islam masuk ke Nusantara tidak dengan pendekatan kekerasan atau peperangan. Berbeda dengan yang terjadi di wilayah lain, baik itu di Eropa, Turki, atau di kawasan Arab sendiri.

Mereka, para penyebar Islam di Nusantara pada masa awal, tidak mengajarkan Islam kepada penduduk setempat dengan doktrin. Melainkan dengan pendekatan budaya. 

Mereka berdakwah dengan cara berbaur dengan budaya lokal hingga muncul budaya-budaya baru sebagai hasil perpaduan antara Islam dengan budaya lokal tadi. Perpaduan budaya itulah yang menjadi latar belakang lahirnya istilah Islam Nusantara

Proses itu berlangsung selama berabad-abad hingga pada masa kolonial muncul kelompok pendakwah Islam lain yang memiliki corak berbeda dengan pendakwah sebelumnya. Kelompok ini merupakan bagian dari gerakan wahabi yang muncul pada abad ke-18 di tanah Arab.

Metode dakwah yang dilakukan wahabi berbeda dengan metode yang dilakukan pendakwah sebelumnya. Mereka tidak familiar dengan budaya lokal. Mereka berpandangan segala budaya yang sudah ada dan turun temurun adalah bentuk-bentuk bid'ah yang harus diberantas.

Sementara itu pada masa awal abad ke-20, di wilayah-wilayah terjajah tumbuh gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonialisme, muncul pula dari gerakan itu yang bercorak Islam, dikenal dengan pan Islamisme. Gerakan ini pula yang melahirkan kelompok-kelompok  semacam Hizbut Tahrir di Palestina dan Ikwanul Muslimin di Mesir.

Tidak ketinggalan, gerakan pan Islamisme pun menular ke Indonesia. Sebagaimana Wahabi dalam beberapa hal  pandangan mereka pun tidak sejalan dengan kelompok Islam tradisional. Pan Islamisme yang menghendaki suatu penyatuan Islam dalam satu negara Islam bertentetangan dengan kelompok tradisionalis yang lebih memilih negara berdasarkan kebangsaan. 

Kelompok Wahabi dan kelompok pan Islamisme adalah dua kelompok utama yang selalu menentang konsep Islam Nusantara. Dari sejak abad ke-18 dan abad ke-20, tidak terkecuali pula saat ini.

Namun walaupun terus mendapatkan penentangan, NU tetap bertekad untuk terus menyebarkan faham Islam Nusantara. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga ke dunia internasional.

Corak Islam Nusantara yang anti konflik membuat  NU berkeyakinan bahwa konsep Islam Nudantara bisa diterima di berbagai kalangan, yang pada akhirnya akan megukuhkan nilai-nilai Islam itu sendiri.

Pada masalah penghilangan sebutan kafir bagi nonmuslim tidak kurang juga mendapat penentangan. Berbagai reaksi bermunculan di berbagai tempat dan media, meanstream maupun media sosial.

Istilah kafir merupakan kosakata yang sudah baku yang tertera dalam Al Qur'an. Oleh karena itu tidak mungkin kita menghapus kosakata kafir. Apalagi selama ini sebutan kafir relatif tidak menimbulkan masalah dalam pergaulan antar individu maupun kelompok. Begitu kira-kira pandangan mereka terhadap masalah ini.

Adapun NU menyoroti masalah ini sebenarnya lebih pada masalah status dan kedudukan warga negara. Di dalam konstitusi kita tidak mengenal istilah kafir atau muslim, karena konstitusi hanya mengenal istilah warga negara atau muwatthinun.

Dalam status muwatthinun atau warga negara, semua individu memiliki hak dan kedudukan yang sama. Tidak perduli itu muslim atau nonmuslim, mayoritas atau pun minoritas, semuanya setara. Setara dalam semua bidang, baik itu ekonomi, pendidikan, hukum, bahkan politik.

Walaupun dalam pergaulan sehari-hari istilah kafir itu diklaim tidak ada masalah, namun diakui atau pun tidak sikap diskriminatif terhadap kaum nonmuslim itu kerap ada, terutama dalam kehidupan politik. Non muslim yang kafir itu masih dipandang sebagai warga kelas dua. Nonmuslim kemudian tidak memiliki hak poltik yang setara dengan warga muslim.

Kasus penolakan Ahok pada pilkada DKI 2017 adalah contoh kasus diskriminatif yang sangat kentara. Ahok adalah nonmuslim dan kafir,  untuk itu haram untuk dipilih jadi pemimpin. Begiu kira-kira seruan para pemuka agama pada saat itu. Saat itu surat Al Ma'idah 51 menjadi isu yang mengemuka. Hingga akhirnya di samping menjegal Ahok dalam proses pilkada, terlepas Ahok itu kalah atau pun menang, isu ini juga yang telah menjebloskannya ke penjara.

Pada konteks di atas, rekomendasi NU tentang istilah muwatthinun yang setara menjadi relevan dan tidak bisa disebut mengada-ada. Rekomandasi para ulama tersebut yang lebih memiliki pijakan hukum syar'i diharapkan dapat menggugah akal para pemuka agama untuk meninjau kembali isi ceramah mereka selama ini.

Dengan kata kain, rekomendasi NU tentang sebutan kafir dapat diartikan sebagai suatu upaya penyadaran para pihak terutama para pemuka agama untuk sadar terhadap konstitusi yang berlaku di negara ini. Jadi titik fokusnya bukan pada masalah kosakatanya, karena secara kosakata istilah kafir tidak mungkin dihapus.

Persoalannya apakah mereka para pemuka agama itu dapat memahami makna dari rekomendasi itu. Dalam suasana sentimen agama masih begitu kuat seperti saat ini, agak sulit mengharapkan meteka untuk memahaminya.

Apalagi ditambah dengan adanya tekanan para elite politik yang begitu kuat memjelang pemilihan. Siituasi pemikiran para pemuka agama yang sedemikian itu semakin mendapat penguatan. Orasi dan khurbah yang diskriminatif pun semakin kencang diteriakkan.

Pada konteks munas ulama NU, ada sebagian orang yang menengarai bahwa munas yang diadakan di kota Banjar Jawa Barat itu memiliki motif politik. Mereka mempertanyakan mengapa munas NU itu tidak digelar di Jawa Timur yang merupakan basis para ulama NU.

Apalagi munas tersebut mendapat dukungan Jokowi yang merupakan petahana dalam pilpres kali ini. Sedangkan kita tahu  suara Jokowi di Jawa Barat lemah. Lokasi munas NU di Jawa Barat seakan memiliki pesan politik untuk menunjukkan bahwa kekuatan politik petahana di provinsi itu ada. Dan NU adalah sebagai pendukung utamanya.

Di satu sisi, NU membutuhkan dukungan kekuasaan dalam menghadapi rival ideologis turun-temurunnya, wahabi dan pan Islamisme. Atas alasan itulah NU kemudian selalu dekat dengan kekuasaan, walaupun  di tiap periode kekuasaan memiliki pola yang berbeda-beda.

Pada zaman orde lama NU menjadi pendukung Soekarno dengan nasakomnya. Pada zaman orde baru, bersama Soeharto, NU adalah kelompok terdepan dalam memerangi PKI. Pada masa reformasi ketum NU sendiri, Abdurrachman Wahid adalah  presiden keempat RI.

Pada pilpres kali ini pun NU memiliki dukungan yang jelas terhadap petahana Jokowi. Apalagi cawapresnya KH Ma'ruf Amien adalah  juga salah satu petinggi NU.

Itu semua pada gilirannya demi memperkuat posisi NU dalam menangkal berbagai serangan rival-rival ideologisnya. Demi mempertahankan tradisi yang selama ini mereka anut. Tradisi aswaja, tradisi Islam Nusantara, serta tradisi NU itu sendiri.

Apalagi di satu pihak, kelompok wahabi dan pan Islamisme tampaknya merapat ke kubu penantang, Prabowo Subianto. Maka untuk menandingi manuver lawan mereka, NU tidak punya pilihan selain merapat ke lawan Prabowo, sang petahana Joko Widodo.

Rekomendasi NU pada munas itu seakan mendapatkan gaungnya di tengah rivalitas capres yang juga sangat tajam. Utmanya tentang Islam Nusantata dan sebutan kafir bagi nonmuslim.

Di balik rekomendasi NU khusus tentang Islam Nusantara dan sebutan kafir bagi nonmuslim tersebut, ada semacam genderang perang yang ditabuh. Perang yang ditujukan pada rival-rival ideologis NU. Mereka seakan berkata bahwa kami ada dan besar untuk menghadapi kalian semua (para rival NU).

Namun terlepas dari itu semua, tanpa bermaksud berpihak ke salah satu kelompok yang selalu bertikai itu, apa yang digagas oleh NU sering memberi kita suatu pencerahan. Gagasan-gagasan para pemikir NU tentang politik kebangsaan memberi kita sebuah wawasan tentang ke-Islaman  dalam konteks kebangsaan itu.

Walaupun demikian, kelompok lain semacam wahabi atau pan Islamisme pun sebenarnya banyak memberi wawasan juga. Tentu dalam perspektif yang berbeda dengan yang selalu disodorkan NU.

Pertikaian di antara mereka tentu memberi hikmah pada kita. Narasi-narasi yang sering meteka produksi dan dipertentangkan satu sama lain, memberi kita kekayaan intelektual yang dinamis. Kita kemudian bisa menikmati suasana keberagaman yang beraneka warna. Karena seandainya kita hidup dalam satu warna saja, tentu alangkah membosankanya hidup ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun