Corak Islam Nusantara yang anti konflik membuat  NU berkeyakinan bahwa konsep Islam Nudantara bisa diterima di berbagai kalangan, yang pada akhirnya akan megukuhkan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Pada masalah penghilangan sebutan kafir bagi nonmuslim tidak kurang juga mendapat penentangan. Berbagai reaksi bermunculan di berbagai tempat dan media, meanstream maupun media sosial.
Istilah kafir merupakan kosakata yang sudah baku yang tertera dalam Al Qur'an. Oleh karena itu tidak mungkin kita menghapus kosakata kafir. Apalagi selama ini sebutan kafir relatif tidak menimbulkan masalah dalam pergaulan antar individu maupun kelompok. Begitu kira-kira pandangan mereka terhadap masalah ini.
Adapun NU menyoroti masalah ini sebenarnya lebih pada masalah status dan kedudukan warga negara. Di dalam konstitusi kita tidak mengenal istilah kafir atau muslim, karena konstitusi hanya mengenal istilah warga negara atau muwatthinun.
Dalam status muwatthinun atau warga negara, semua individu memiliki hak dan kedudukan yang sama. Tidak perduli itu muslim atau nonmuslim, mayoritas atau pun minoritas, semuanya setara. Setara dalam semua bidang, baik itu ekonomi, pendidikan, hukum, bahkan politik.
Walaupun dalam pergaulan sehari-hari istilah kafir itu diklaim tidak ada masalah, namun diakui atau pun tidak sikap diskriminatif terhadap kaum nonmuslim itu kerap ada, terutama dalam kehidupan politik. Non muslim yang kafir itu masih dipandang sebagai warga kelas dua. Nonmuslim kemudian tidak memiliki hak poltik yang setara dengan warga muslim.
Kasus penolakan Ahok pada pilkada DKI 2017 adalah contoh kasus diskriminatif yang sangat kentara. Ahok adalah nonmuslim dan kafir, Â untuk itu haram untuk dipilih jadi pemimpin. Begiu kira-kira seruan para pemuka agama pada saat itu. Saat itu surat Al Ma'idah 51 menjadi isu yang mengemuka. Hingga akhirnya di samping menjegal Ahok dalam proses pilkada, terlepas Ahok itu kalah atau pun menang, isu ini juga yang telah menjebloskannya ke penjara.
Pada konteks di atas, rekomendasi NU tentang istilah muwatthinun yang setara menjadi relevan dan tidak bisa disebut mengada-ada. Rekomandasi para ulama tersebut yang lebih memiliki pijakan hukum syar'i diharapkan dapat menggugah akal para pemuka agama untuk meninjau kembali isi ceramah mereka selama ini.
Dengan kata kain, rekomendasi NU tentang sebutan kafir dapat diartikan sebagai suatu upaya penyadaran para pihak terutama para pemuka agama untuk sadar terhadap konstitusi yang berlaku di negara ini. Jadi titik fokusnya bukan pada masalah kosakatanya, karena secara kosakata istilah kafir tidak mungkin dihapus.
Persoalannya apakah mereka para pemuka agama itu dapat memahami makna dari rekomendasi itu. Dalam suasana sentimen agama masih begitu kuat seperti saat ini, agak sulit mengharapkan meteka untuk memahaminya.
Apalagi ditambah dengan adanya tekanan para elite politik yang begitu kuat memjelang pemilihan. Siituasi pemikiran para pemuka agama yang sedemikian itu semakin mendapat penguatan. Orasi dan khurbah yang diskriminatif pun semakin kencang diteriakkan.