Mohon tunggu...
Mulyana
Mulyana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Intelektualitas dan Independensi Kaum Reformis

14 Januari 2019   19:09 Diperbarui: 14 Januari 2019   19:39 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo| download dari facebook

Saat ini sedang ramai bertebaran postingan di beranda media sosial tentang dukungan para alumni berbagai universitas di tanah air terhadap capres petahana Joko Widodo. Kaum intelektual sudah mulai bergerak, begitulah kira-kira judul pada salah satu tulisan pegiat media sosial yang cukup terkenal.

Photo-photo yang menggambarkan tentang hal tersebut yang salah satunya diposting pada tulisan saya ini kemudian banyak dishare oleh banyak para pengguna media sosial yang lain. Dengan ungkapan yang kurang lebih sama, tentang bangkitnya kaum intelektual dalam menentukan arah negara ini.

Ribuan orang yang disebut sebagai para alumni berbagai universitas tersebut sebagian besar juga disebut sebagai aktivis mahasiswa yang menyuarakan gerakan reformasi tahun 1998. Mereka secara tegas menyatakan dukungan mereka pada capres petahana Joko Widodo.

Saya kemudian juga teringat satu bulan yang lalu ribuan alumni 212 berkumpul di lapangan monas yang walaupun banyak dibantah oleh mereka diam-diam menyatakan dukungan mereka terhadap capres penantang Prabowo Subyanto.

Bantahan mereka tentang adanya dukungan mereka terhadap capres penantang Prabowo Subyanto karena sejak awal mereka menyatakan bahwa gerakan mereka adalah sebuah gerakan ukhuwah untuk meningkatkan persatuan umat. Tidak ada kaitan dengan gerakan politik dan dukungan terhadap capres tertentu.

Namun walau bagaimanapun tentu saja publik sudah faham tentang bagaimana dan ke mana arah gerakan reuni ini tertuju. Sejak gerakan ini muncul pada bulan Desember tahun 2016 lalu yang berbarengan dengan tahapan perhelatan pilkada DKI. Dengan dalih desakan untuk mengadili Ahok, sang cagub petahana, atas tuduhan tentang penistaan agama, gerakan ini begitu masif dan sulit untuk mengatakan bahwa gerakan ini bukan gerakan politik.

Dari dua peristiwa dukung-mendukung tersebut kita mendapatkan dua kutub alumni dengan klaim masing-masing. Yang satu mengatasnamakan gerakan intelektual dan yang lain mengatasnamakan gerakan keumatan.

Berhubung gerakan alumni berbagai universitas kemarin dihubungkan dengan gerakan reformasi '98, saya mencoba untuk mengulas gerakan reformasi ini. Walaupun saya saat terjadinya gerakan tersebut hanya menyaksikan merereka di tv atau mendengar lewat radio.

Gerakan reformasi '98 yang dimotori oleh para mahasiswa dari berbagai universitas dan juga para tokoh yang lain, adalah suatu gerakan moral dan politis sebagai reaksi atas adanya ketidakadilan dari penguasa orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Ketidakadilan yang dimaksud adalah meliputi adanya pelanggaran HAM, KKN, dan yang terakhir yang menjadi pemantik besarnya gerakan ini adalah krisis moneter dan ekonomi yang begitu parah yang dianggap sebagai kegagalan rezim orba dalam mengelola tatanan ekonomi pada waktu itu.

Keungggulan dari gerakan ini sehingga berhasil menumbangkan rezim orba adalah penghujatan terhadap penguasa dengan basis intelektualitas. Basis yang melahirkan penilaian yang relatif objektif dan berdasarkan fakta. Bukan berdasarkan fitnah, hoaks, dan kebencian yang tak berdasar.

Gerakan reformasi '98 bukanlah gerakan politik praktis yang mengusung tokoh tertentu untuk menggantikan rezim yang ada yang dianggap semena-mena. Reformasi '98 di samping menuntut mundurnya rezim orba juga lebih dari itu yakni tuntutan adanya perombakan sistem politik, sosial dan juga hukum yang sebelumnya dianggap tidak lagi relevan dan hanya melahirkan pemimpin-pemimpin otoriter dan korup.

Segera setelah tumbangnya orde baru kemudian lahirlah perubahan-perubahan yang meliputi sistem ketatanegaraan dengan amandemen UUD'45nya, kebebasan pers, hingga upaya pemberantasan KKN secara masif. Untuk pertama kalinya, pada tahun 2004 presiden dipilih langsung oleh rakyat. 

Sebelumnya yaitu pada tahun 2003 lahir pula suatu lembaga yang ditujukan untuk upaya pemberantasan korupsi secara masif yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK). 

Dalam masa pasca reformasi pula hingga kini dunia pers menikmati atmosfir kebebasannya dan tampil menjadi pilar keempat dalam tarananan negara kita setelah legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Kebebasan pers yang juga menjadi kebebasan untuk berbicara dan berpendapat bagi warganya. Seperti bebasnya tulisan saya dalam artikel ini.

Jadi reformasi yang digaungkan oleh para intelektual itu, banyak menghasilkan kemajuan-kemajuan dalam upaya kita untuk membangun negara yang demokratis, adil, bersih, dan berperikemanusiaan. 

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai kekurangan dan keburukan juga menyertai masa pasca reformasi ini. Itu juga menjadi alasan bahwa proses reformasi itu tidak boleh terhenti pada satu titik.

Tugas reformasi tidak selesai pada saat rezim orde baru tumbang. Tumbangnya rezim orba hanyalah langkah awal dari reformasi yang lebih besar dan kolosal.

Reformasi juga tidak selesai pada amandemen UUD'45, presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung, atau terbentuknya KPK.  

Tapi yang lebih dari itu reformasi harus menciptakan suasana politik yang nyaman bagi rakyatnya, supremasi hukum yang memenuhi rasa keadilan (termasuk di dalamnya penuntasan kasus-kasus HAM berat), pemerintahan yang bersih, serta kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesemuanya itu memerlukan kerja keras dari semua elemen masyarakat, di tengah tantangan yang juga kian hari kian tidak mudah. Negara kita adalah negara dengan wilayah yang besar, penduduk yang juga besar, serta berbagai kompleksitas masalah yang ada, merupakan sumber tantangan tersebut.

Selama cita-cita reformasi masih jauh untuk terwujud maka gerakan reformasi itu tidak boleh terhenti. Tidak terkecuali pada konteks pilpres kali ini. 

Harus diingat bahwa gerakan reformasi '98 bukanlah gerakan politik praktis. Terlebih dalam hal gerakan dukung-mendukung capres tertentu. Deklarasi para alumni berbagai universitas kemarin tidak boleh mengecilkan gerakan reformasi yang dulu mereka usung. Artinya sikap kritis yang berbasis intelektual tidak boleh hilang hanya karena mendukung seseorang. Itu point pentingnya.

Kita harus belajar dari sejarah. Dulu pada awal kemerdekaan RI presiden Soekarno begitu dipuja oleh rakyat. Namun pada tahun-tahun terakhir kepemimpinannya banyak kebijakannya yang agak menyimpang dari cita-citra demokrasi. Salah satunya ditetapkannya beliau sebagai presiden seumur hidup. Terakhir muncul gerakan mahasiswa angkatan '66 dengan trituranya

Begitupun pada saat Soeharto baru saja berkuasa. Harapan baru bagi rakyat datang. Mereka mengharapkan adanya perbaikan ekonomi dan stabilitas keamanan dari presiden baru tersebut. Namun beberapa tahun kemudian sebagian rakyat merasakan adanya penyimpangan dari rezim ini. Pada tahun 1974 terjadi peristiwa Malari. Rezim menghadapinya secara represif. Kemudian setelah itu berbagai tindakan represif orba terus berlanjut hingga puncaknya terjadi pada 1998 yang ditandai dengan munculnya gerakan reformasi '98.

Baiknya para alumni yang membawa-bawa nama asal universitas mereka itu tidaklah masuk terlalu jauh dalam praktek dukung-mendukung capres tertentu. Lebih bagus mereka tetap fokus untuk terus menghidupkan dan mengawal semangat reformasi yang dulu mereka gaungkan. Siapa pun pemimpin yang sedang dan akan berkuasa. Mereka tidak boleh kehilangan daya kritisnya, daya kritis yang berbasis intelektual sebagai kekuatan utamanya.

Amat disayangkan sebagian dari mereka pejuang-pejuang dan tokoh-tokoh reformasi itu saat ini malah larut dalam kehidupan politik praktis mereka. Jaringan yang dulu mereka jadikan sebagai alat gedor terhadap kekuasaan, justru saat ini mereka jadikan sebagai sumber daya untuk memperkuat posisi mereka sebagai elit politik.

Bahkan ada di antara mereka yang dulu sebagai tokoh yang paling depan dalam menggelorakan api reformasi, saat ini malah sangat melenceng dari ruh fefornasi itu sendiri. Dari pernyataan-pernyataannya terlihat dia seperti bukan seorang intelektual apalagi seorang reformis. 

Kritik yang sama sebenarnya tertuju pada kelompok yang berbasis keumatan.

Jauh sebelum adanya gerakan reformasi '98 secara historis umat Islam sebenarnya telah mendudukkan diri mereka sebagai kaum reformis yang bahkan berwatak revolusioner. Watak yang menyertai mereka dalam upayanya menggedor kaum imperialis yang sudah sekian lama menjajah bumi Nusantara ini.

Sejak pihak Belanda menggulirkan politik etis yang memberi kesempatan pada kaum pribumi yang sebagian besar Muslim untuk memperoleh pendidikan modern, kemudian lahirlah kaum intelektual baru. Kaum intelektual Muslim.

Dari kelompok Muslim intelektual inilah muncul kesadaran tentang ide perlawanan terhadap kaum kolonialis imperialis. Kesadaran intelektual yag kemudian juga ikut merumuskan terbentuknya negara Republik Indonesia ini.

Pada gerakan reuni alumni 212 yang oleh sebagian kalangan Muslim dianggap sebagai kebangkitan umat Islam, walaupun watak revolusionernya terlihat menggelora, namun sepertinya mereka mengabaikan nilai-nilai intelektualuias mereka. Gerakan mereka yang revolusioner tersebut sangat berbeda dengan gerakan kaum intelelektual Muslim pada masa pra kemerdekaan RI.

Apalagi ditambah dengan adanya dukungan mereka terhadap capres tertentu. Mereka lagi-lagi terjebak dalam pusaran politik praktis, yang justru membonsai gerakan mereka yang katanya revolusioner itu.

Jadi kesimpulannya jika kita mendikotomikan kedua kelompok yang diurai di atas sebagai kelompok reformis dan kelompok keumatan, keduanya harus memiliki dua syarat penting untuk menjadi kekuatan bagi negara ini. Kedua syarat itu adalah intelektualitas dan independen yang terbebas dari kungkungan kekuatan politik praktis mana pun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun