Harus diingat bahwa gerakan reformasi '98 bukanlah gerakan politik praktis. Terlebih dalam hal gerakan dukung-mendukung capres tertentu. Deklarasi para alumni berbagai universitas kemarin tidak boleh mengecilkan gerakan reformasi yang dulu mereka usung. Artinya sikap kritis yang berbasis intelektual tidak boleh hilang hanya karena mendukung seseorang. Itu point pentingnya.
Kita harus belajar dari sejarah. Dulu pada awal kemerdekaan RI presiden Soekarno begitu dipuja oleh rakyat. Namun pada tahun-tahun terakhir kepemimpinannya banyak kebijakannya yang agak menyimpang dari cita-citra demokrasi. Salah satunya ditetapkannya beliau sebagai presiden seumur hidup. Terakhir muncul gerakan mahasiswa angkatan '66 dengan trituranya
Begitupun pada saat Soeharto baru saja berkuasa. Harapan baru bagi rakyat datang. Mereka mengharapkan adanya perbaikan ekonomi dan stabilitas keamanan dari presiden baru tersebut. Namun beberapa tahun kemudian sebagian rakyat merasakan adanya penyimpangan dari rezim ini. Pada tahun 1974 terjadi peristiwa Malari. Rezim menghadapinya secara represif. Kemudian setelah itu berbagai tindakan represif orba terus berlanjut hingga puncaknya terjadi pada 1998 yang ditandai dengan munculnya gerakan reformasi '98.
Baiknya para alumni yang membawa-bawa nama asal universitas mereka itu tidaklah masuk terlalu jauh dalam praktek dukung-mendukung capres tertentu. Lebih bagus mereka tetap fokus untuk terus menghidupkan dan mengawal semangat reformasi yang dulu mereka gaungkan. Siapa pun pemimpin yang sedang dan akan berkuasa. Mereka tidak boleh kehilangan daya kritisnya, daya kritis yang berbasis intelektual sebagai kekuatan utamanya.
Amat disayangkan sebagian dari mereka pejuang-pejuang dan tokoh-tokoh reformasi itu saat ini malah larut dalam kehidupan politik praktis mereka. Jaringan yang dulu mereka jadikan sebagai alat gedor terhadap kekuasaan, justru saat ini mereka jadikan sebagai sumber daya untuk memperkuat posisi mereka sebagai elit politik.
Bahkan ada di antara mereka yang dulu sebagai tokoh yang paling depan dalam menggelorakan api reformasi, saat ini malah sangat melenceng dari ruh fefornasi itu sendiri. Dari pernyataan-pernyataannya terlihat dia seperti bukan seorang intelektual apalagi seorang reformis.Â
Kritik yang sama sebenarnya tertuju pada kelompok yang berbasis keumatan.
Jauh sebelum adanya gerakan reformasi '98 secara historis umat Islam sebenarnya telah mendudukkan diri mereka sebagai kaum reformis yang bahkan berwatak revolusioner. Watak yang menyertai mereka dalam upayanya menggedor kaum imperialis yang sudah sekian lama menjajah bumi Nusantara ini.
Sejak pihak Belanda menggulirkan politik etis yang memberi kesempatan pada kaum pribumi yang sebagian besar Muslim untuk memperoleh pendidikan modern, kemudian lahirlah kaum intelektual baru. Kaum intelektual Muslim.
Dari kelompok Muslim intelektual inilah muncul kesadaran tentang ide perlawanan terhadap kaum kolonialis imperialis. Kesadaran intelektual yag kemudian juga ikut merumuskan terbentuknya negara Republik Indonesia ini.
Pada gerakan reuni alumni 212 yang oleh sebagian kalangan Muslim dianggap sebagai kebangkitan umat Islam, walaupun watak revolusionernya terlihat menggelora, namun sepertinya mereka mengabaikan nilai-nilai intelektualuias mereka. Gerakan mereka yang revolusioner tersebut sangat berbeda dengan gerakan kaum intelelektual Muslim pada masa pra kemerdekaan RI.