Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Dua Amin yang Berbeda

17 April 2022   17:20 Diperbarui: 20 April 2022   22:30 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbakti pada orangtua. Sumber: Pexles.com/Andrea Piacquadio

Ibu senyum-senyum mendengar celotehku. Tidak marah. Tidak juga memberi penjelasan apa-apa, kecuali berkata, "Aamiin."

Di kemudian hari, dari sebuah buku 'Pendidikan Moral Pancasila' untuk kelas dua sekolah dasar, aku baru mengerti. Ternyata, kami dan Eyang Uti hanya seamin, tetapi tidak seiman. Padahal di rumah, salib terpasang di hampir seluruh ruangan. Benda itu tidak membuatku langsung paham perbedaan di antara kami. 

Sepanjang ingatanku, Bapak dan Ibu tidak pernah mempermasalahkan salib-salib itu. Sama seperti nenek yang juga tidak pernah melarang kami menggelar sajadah di mana pun untuk salat berjamaah.

Di desa, rumah kami menjadi satu-satunya bangunan yang di waktu tertentu terdengar suara Bapak atau Ibu mengaji. Di waktu berbeda, terdengar kidung puja puji untuk Yesus.

Waktu menumbuhkembangkan rasa penasaran. Bagaimana bisa Eyang Uti dan Bapak berbeda keyakinan. Dugaan yang pertama kali hinggap di pikiranku, pasti karena Bapak menikahi Ibu, putri seorang takmir. 

Semua dugaan yang bermunculan akhirnya mengendap begitu saja. Yang mencuat dan terus teringat justru petuah bijak dari Bapak. 

"Aku bisa memilih bertuhan kepada siapa. Tapi, mustahil bisa memilih ingin jadi anak siapa. Apapun agamaku, kewajiban terhadap orang tua tetap sama. Berbakti."

Setiap menjelang lebaran, aku melihat Eyang Uti laksana lebah pekerja. Sibuk sekali. Ia diam-diam pergi ke kota membeli apa saja untuk kami. Sajadah, sarung, baju baru untukku dan adik-adik. Tidak ketinggalan kerudung atau mukena untuk Ibu. Eyang Uti juga yang membantu Ibu memasak hidangan hari raya.

"Kalian fokus ibadah saja!" pinta Eyang Uti. "Dengar-dengar, sepuluh hari terakhir itu justru waktu yang paling istimewa. Ya, kan?"

Bapak dan Ibu mengangguk, lantas mengucapkan terima kasih. Kami membiarkan nenek mengerjakan apa yang ia suka. Senyum Eyang Uti mengembang secerah matahari pukul sembilan pagi manakala melihat kami memakai baju baru pemberiannya, juga lahap menyantap opor ayam buatannya.

"Menurutmu, Ibu kafir?" tanya Eyang Uti tiba-tiba. Saat itu kami tengah menonton acara talk show di televisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun