Dua Amin yang Berbeda
Setiap Ramadan tiba, kenangan bersama Eyang Uti berlintasan dalam kepala. Bak gulungan film lawas yang diputar ulang. Bergerak pelan, sesekali tersendat, tetapi terlalu indah untuk dihentikan paksa.Â
Aku pernah mendapati Eyang Uti makan siang di kamar saat bulan puasa. Sontak aku meradang. Protes keras. Persis rakyat kecil yang diperlakukan tidak adil oleh para penegak hukum. Kenapa aku yang masih piyik diminta berpuasa. Sementara nenek, sudah dewasa tidak puasa. Tidak ada pula yang berani memarahi Eyang Uti. Parahnya, bukan terjadi dua atau tiga hari saja. Bukan juga seperti Ibu, yang katanya mendapat jatah libur puasa dan salat dari Allah. Akan tetapi, sepanjang Ramadan.
Eyang Uti juga tidak pernah mau setiap kali aku ajak tarawih. Entah di rumah atau di langgar. Ia tak mengatakan alasannya. Hanya berpesan, "Sudah sana berangkat! Kalau ada yang main petasan, jangan dekat-dekat, ya, Nduk!"
Jiwa kekanak-kanakanku sulit diajak mengerti. Rasa iri kian menjadi-jadi. Aku ingin sekali seperti teman-teman sepermainan. Mereka pergi tarawih bersama ibu serta nenek. Berada dalam saf yang sama, sepanjang Isya dan sebelas rakaat berikutnya. Buatku, semua itu hanya sebatas mimpi di siang bolong.
Suatu malam aku pernah menertawakan mukena Mbah Jayem. Menurutku, ketika neneknya Puput itu bersidekap, ia tampak seperti pocong.
"Hahahaha. Hei, ono pocong melu teraweh!"
"Husss! Ngawur arek iki! Ini namanya mukena terusan. Anti melorot!"Â
Mbah Jayem mendelik dan bibir dowernya meruncing saat mengucap kata 'melorot'. Aku makin terpingkal-pingkal. Namun, di saat bersamaan, jauh dalam benak seorang bocah bau kencur, aku membayangkan sesuatu. Eyang Uti yang terkenal cantik, pasti akan terlihat semakin menawan bila memakai mukena. Mukena yang seperti Ibu pakai. Kainnya halus, berenda putih lebar di pinggirannya.Â
"Nanti kalau Monik sudah besar, mau beli mukena buat Uti. Tapi, bukan kayak mukenanya Mbah Jayem. Yang model begitu, jelek!"