Sewindu sudah dan tidak ada satu hari pun berlalu tanpa setup pisang. Porsi yang sama, selalu di mangkuk yang sama, disantap di jam yang sama.Â
Rasa yang seharusnya kian membosankan, tetapi tidak demikian buat Bapak. Tidak ada celah sedikit pun bagi rasa bosan dalam kesetiaan, tegasnya padaku. Berulang kali.
"Hari ini tidak ada setup pisang. Cukup! Genduk bosan, Pak!" bantahku pada suatu hari, lima tahun lalu. "Kalau Bapak mau, bikin saja sendiri!"
Saat itu Bapak hanya diam. Tidak pula rautnya menampakkan kemarahan atau kekecewaan. Sontak aku berkesimpulan, tidak apa-apa jika sehari atau dua hari tanpa ada setup pisang. Bapak akan baik-baik saja.
Aku lega. Lepas dari kejenuhan membuat setup pisang. Merdeka dari belenggu aroma yang itu lagi, itu lagi--semerbak harum pisang, cengkeh, jahe, kayu manis dan daun pandan yang berpadu.Â
Terbebas dari cerita yang selalu saja berputar-putar tentang pisang dan keprihatinan. Kisah masa-masa nelangsa.
Jam lima sore, masih di hari yang sama, aku mendapati Bapak duduk di teras. Jam lima sore adalah waktunya menikmati setup pisang. Aku perhatikan pandangan Bapak tidak beralih dari pintu pagar.
"Ibumu belum pulang, ya?" tanya beliau ketika aku mendekat.
"Ibu sudah lama pulang. Bapak lupa?"
"Kalau begitu, sebentar lagi waktunya setup pisang."
"Tidak ada setup pisang hari ini, Pak!" tegasku lagi.
"Ya, sudah. Tidak apa-apa, asalkan ibumu ada."
Senja itu kali pertama langkahku menuju dapur terasa amat berat. Bukan lantaran digelayuti malas atau bosan, tetapi terbebani kata-kata Bapak. 'Asalkan ibumu ada'.
Buat Bapak, semua di dunia ini boleh saja hilang, musnah atau pergi. Bahkan andaikan ia tak memiliki apa-apa lagi, asalkan ada Ibu, hidup akan tetap sempurna.
Akhirnya, meskipun terlambat, semangkuk setup favorit tetap tersaji. Sejak sore itu pula, aku mengenyahkan ego yang terbungkus rapi dalam dalih jenuh. Tidak lagi memaksa Bapak mencoba setup atau wedang lain.
Cuma setup pisang yang Bapak mau. Cuma dalam setup pisang ada kehadiran Ibu. Cuma dengan menikmati setup pisang Bapak memupuk kerinduannya pada kekasih hati. Setia menunggu sampai tiba waktu memetik pertemuan.
"Dulu sekali, Bapak dan ibumu cuma punya pisang."
Selalu kalimat itu yang Bapak ucapkan untuk mengawali cerita. Saban sore, jam lima lewat tiga menit, setelah suapan pertama. Seketika tatapan Bapak berbinar, seolah-olah melihat kedatangan ibu di pintu pagar.
"Tidak akan pernah cukup, apa-apa yang tidak disyukuri." Sengaja aku melanjutkan ucapannya.
"Aku bersyukur dan mencintai kekurangan Rukmini. Seperti ia juga berikhlas hati menerima semua kelemahanku."
Bergegas aku meniru lagi dengan berkata, "Hatiku sudah penuh olehnya."
"Ya, Nduk. Tidak ada tempat untuk perempuan lain, sesempurna apa pun mereka."
Mengalir kembali kisah yang aku sangat hafal di mana Bapak memberi jeda pada kata-katanya. Sama persis seperti mengalirnya kuah setup melewati kerongkongan. Perlahan, berhenti sejenak, mengalir lagi. Menebar kehangatan yang tak terganti.
Tujuh purnama lalu, Bapak masih mampu menangkup dan mengangkat mangkuk. Kemudian, menyeruput setup ketika yang tersisa hanya kuahnya saja. Di sela-sela sruputannya, beliau tak pernah lupa berbisik, "Ni, aku kangen kamu."
Kian hari kian lirih terdengar, tetapi mampu menghunjam kalbuku. Kerinduan Bapak pada Ibu semakin dalam. Mana mungkin aku tidak merasakannya juga.
Hari ini, jam lima sore, di teras yang sama. Porsi yang sama dalam mangkuk yang sama. Setup pisang telah tersedia tanpa ada yang meminta. Tidak ada Ibu sebab telah lama  berpulang. Empat puluh hari sudah, kursi roda Bapak kosong.
Delapan tahun, setiap hari aku membuat setup pisang, tanpa pernah menyantapnya. Aku tidak suka pisang. Hari ini pertama kali mencoba panganan kesukaan Bapak Ibu. Tidak sekadar menghidu.
Rasa yang entah. Akan tetapi, aku kadung mencintai aromanya. Harum kerinduan.
Sampai juga di suapan terakhir. Aku melihat Bapak dan Ibu melambai-lambaikan tangan di pintu pagar. Senyum mereka cerlang. Menatap hangat padaku yang masih bersimbah bening duka.
"Pak, Bu, Genduk kangen."
Tamat
Bekasi, 18 Maret 2022, 17.25 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H