"Ya, Nduk. Tidak ada tempat untuk perempuan lain, sesempurna apa pun mereka."
Mengalir kembali kisah yang aku sangat hafal di mana Bapak memberi jeda pada kata-katanya. Sama persis seperti mengalirnya kuah setup melewati kerongkongan. Perlahan, berhenti sejenak, mengalir lagi. Menebar kehangatan yang tak terganti.
Tujuh purnama lalu, Bapak masih mampu menangkup dan mengangkat mangkuk. Kemudian, menyeruput setup ketika yang tersisa hanya kuahnya saja. Di sela-sela sruputannya, beliau tak pernah lupa berbisik, "Ni, aku kangen kamu."
Kian hari kian lirih terdengar, tetapi mampu menghunjam kalbuku. Kerinduan Bapak pada Ibu semakin dalam. Mana mungkin aku tidak merasakannya juga.
Hari ini, jam lima sore, di teras yang sama. Porsi yang sama dalam mangkuk yang sama. Setup pisang telah tersedia tanpa ada yang meminta. Tidak ada Ibu sebab telah lama  berpulang. Empat puluh hari sudah, kursi roda Bapak kosong.
Delapan tahun, setiap hari aku membuat setup pisang, tanpa pernah menyantapnya. Aku tidak suka pisang. Hari ini pertama kali mencoba panganan kesukaan Bapak Ibu. Tidak sekadar menghidu.
Rasa yang entah. Akan tetapi, aku kadung mencintai aromanya. Harum kerinduan.
Sampai juga di suapan terakhir. Aku melihat Bapak dan Ibu melambai-lambaikan tangan di pintu pagar. Senyum mereka cerlang. Menatap hangat padaku yang masih bersimbah bening duka.
"Pak, Bu, Genduk kangen."
Tamat
Bekasi, 18 Maret 2022, 17.25 WIB