Tubuhku bergetar di hadapanmu yang terbaring dengan banyak selang kecil dan kabel-kabel. Aku hanya mengenal satu alat. Ventilator. Aku pun hanya mendapat satu keterangan; kanker paru-paru.
Kulihat tangan kananmu bergerak-gerak lemah. Iya, Lang. Â Aku tahu apa maksudmu. Kau sedang berkata 'I love you' tanpa suara.
Cukup kugenggam kuat tanganmu yang bertato huruf kanji. Sebenarnya, ingin meletakkannya di dada kiriku. Dengan begitu, kau mungkin bisa merasakan gemuruh ketakutanku. Takut kehilanganmu. Sungguh aku belum siap. Cinta baru saja meregah, Lang.
Kita mungkin tidak mampu merumrum maut, tetapi masih bisa menebus hari-hari terakhir penuh cinta. Mengapa pergi menanggung lara sendiri. Di bahu perempuanmu yang cengeng ini ada kekuatan, Lang. Ada sejengkal tempat untuk memikul beban sakit bersama. Ada pula tangan yang bisa saling genggam, mengalirkan segenap kekuatan. Aku yakin, kita bisa melewati badai terdahsyat sekali pun. Jangan kau tadah air mata kesakitanmu sendiri.
Matamu setengah terbuka. Separuh jiwaku lesap entah ke mana. Hilang daya, mendapatimu sudah di ujung maut.
Bunyi-bunyi alat medis itu menusuk telinga, tembus ke ruang hati paling hampa. Menjadi suara pengiring kepergianmu ke alam sana. Kehilanganku paripurna. Tidak ada hari yang kukutuk kecuali hari yang tercatat sebagai tanda ketiadaanmu.
Di sinilah aku sekarang, di depan cermin besar dengan dada terbuka, dua puluh tiga tahun kemudian. Memandangi bayangan sebentuk aksara, aku teringat padamu, Lang. Selalu begitu.
Itu bukan sekadar tato huruf 'L'. Itu kau. Semua tentang kau. Dan cuma kau. Cuma Elang yang ada di dadaku. Di situ, di dalamnya. Selamanya.
Tuban, 21 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H