Entahlah. Sampai sekarang, aku juga tidak tahu kenapa bertanya seperti itu. Mungkin sebuah pertanyaan iseng saja. Mungkin juga lantaran aku terkesiap. Elang adalah nama yang kusuka. Terdengar sederhana, tetapi keren.
Lagi-lagi kau benar, Lang. Saat itu memang tidak ada pentingnya namamu Elang atau Perkutut. Kau cuma cowok bertopi Nike, yang ketika tersenyum gingsulmu terlihat jelas. Manis sekali. Mahasiswa semester tujuh sastra Jepang yang pergi ke wartel membawa-bawa gitar kesayangan. Itu saja. Belum menjadi penting buatku.
"Bulan merah jambu luruh di kotamu. Kuayun sendiri langkah-langkah sepi ...."
Kau nyanyikan lagu 'Tak Bisa ke Lain Hati' milik KLa Project diiringi petikan gitar. Sambil menunggu lele goreng siap, dalihmu. Lantas mengajakku bernyanyi.
Sungguh, kuakui tak bisa ke lain hati. Begitu lirik terakhirnya, meluncur mulus dari mulutku.
Di persuaan pertama kita, tentu saja aku masih mencintai Arjuna. Belum pindah ke hatimu, Lang. Belum. Jika pada akhirnya tak butuh waktu lama untuk jatuh ke hatimu, itu sungguh di luar dugaan. Kita tidak pernah bisa merencanakan kepada siapa akan jatuh mencinta, bukan?
Makan malam kita di bawah tenda oranye sama sekali tidak romantis. Meskipun begitu, bersama-sama menyanyikan lagu kesukaan dalam petikan gitarmu, tak bisa dikatakan hal yang biasa saja. Terutama buatku. Aku suka caramu memupus lara hatiku malam itu.
"Bye, Cantik."
Ucapan salam perpisahanmu di mulut gang. Kau belum juga menanyakan namaku. Ahh, dasar cowok gengsian!
Selanjutnya, kau selalu muncul tiba-tiba, baik di depan kosan maupun di kampus. Duduk bersila di bawah tangga perpustakaan FISIP, kau menyapaku yang baru turun. Hai, Cantik! Selalu begitu.
Seperti terhipnotis, aku pun ikut duduk bersila di depanmu. Kemudian, kita asyik membahas tugas atau nyanyi-nyanyi, menikmati jam kuliah yang sudah berakhir. Beberapa teman kerap urun suara dalam permainan gitarmu.