"Lu yakin, muka tuh monyet lagi sedih?" tanya Fahmi dengan pangkal alis bertaut. Serius bercampur heran.
"Yakin."
"Ckckck ... segitu detailnya lu. Apa karena ada di bagian dada? Hahaha."
Kutonjok lengan kiri Fahmi. "Ngeres luh!"
Aku dan Fahmi sama-sama heran. Di sekolah, banyak teman cewek yang suka kucing. Aksesoris dan alat tulis mereka serba berbentuk atau bergambar si meong. Tidak sedikit pula yang senang kelinci atau kupu-kupu. Cuma Anya yang tampaknya masih jadi penggemar Shaun The Sheep. Itu pun masih terbilang lucu. Monyet? Ah, aneh!
"Mungkin, kaus itu hadiah dari pacarnya. Makanya, dia pake terus," Fahmi mulai menebak-nebak, usai menyeruput teh dingin kemasan botol.
"Tapi, gue nggak pernah liat Gendis diantar atau dijemput sama cowok," sanggahku. Hati ini tak terima dengan dugaan Fahmi yang tidak enak didengar itu.
Fahmi langsung berkata, "Ya kan, kita cuma tau dia di tempat bimbel. Lagian, bisa aja mereka itu LDR-an."
Aku cuma bisa terdiam. Meskipun apa yang dikatakan sahabatku itu menyesakkan dada, ada benarnya. Lalu, haruskah aku mundur saja? Jika tidak, bisakah aku merebut Gendis, si gadis berkaus monyet cokelat dari pacarnya?
"Zam! Lu kebanyakan bengong. Sikat, cuy!"
"Oke."