Aku sok-sokan pede gila. Tidak tahu dari arah mana kenekatan yang tiba-tiba menyergap diri ini. Pokoknya, secepatnya harus dicoba atau aku bakal kehilangan kesempatan. Fahmi pasti mau membantu. Dia sahabatku yang jago ngebucin.
***
Setelah berhasil berbasa-basi dengan Gendis, aku juga jadi bisa mengontaknya lewat WhatsApp. Ternyata, tidak sesulit yang kubayangkan. Obrolan berjalan lancar jaya. Namun, pertanyaan tentang kaus favoritnya itu masih kutahan. Mungkin sampai besok. Walaupun tak ada jadwal bimbel, kami sepakat bertemu di toko buku.
"Baru kali ini, gue liat lo nggak pake kaos gambar monyet." Komentarku to the point saat bertemu Gendis di rak buku-buku fiksi remaja.
"Iya, cuma gue pake kalo lagi bimbel atau ekskul," jawabnya masih menyisakan tanda tanya. Kenapa? Apa istimewanya kaus bergambar monyet cokelat itu?
Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku berkata, "Pasti istimewa banget ya kaus itu."
Kulihat matanya mengembun. Ya Tuhan, aku jadi merasa bersalah.
"Usaha bokap gue itu sablon kaos, Zam. Setahun lalu, almarhum mau jemput gue, tapi di jalan kecelakaan. Bokap gue meninggal di tempat kejadian. Kaos itu, kaos yang lagi dia dikerjain, tapi belom selesai." Air mata Gendis mulai menuruni pipi tembamnya.
Aku celingak-celinguk, berharap tak ada pengunjung toko yang memperhatikan kami. "Belum jadi?"
Lalu, dengan menahan isak, Gendis kembali bercerita. Dia bilang, harusnya ada tulisan 'Be Happy' di kaus yang bergambar monyet cokelat berwajah sedih itu. Dia memakainya sebagai obat rindu pada sang ayah.
"Kalo pake kaos itu, gue jadi semangat. Nggak tau kenapa. Berasa kayak ada bokap yang nemenin, jagain, sekaligus nyemangatin gue. Makanya gue pake mulu."