Mohon tunggu...
Mulla Shadra
Mulla Shadra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik UIN Jakarta

hanya seorang mahasiswa biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rohingya: Konflik Etnis yang Tidak ada Sudahnya

31 Desember 2024   22:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   22:36 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konflik etnis Rohingya merupakan salah satu isu kemanusiaan paling kompleks dan mengundang perhatian luas dari komunitas internasional. Konflik ini tidak hanya melibatkan isu politik dan sosial di Myanmar, tetapi juga menyentuh berbagai aspek kemanusiaan yang mendasar. Untuk memahami akar persoalan ini, penting bagi kita untuk mengeksplorasi sejarah panjang dan dinamika yang melingkupinya.

Ketidakpastian status kewarganegaraan, diskriminasi etnis, dan tekanan politik menjadi beberapa faktor yang memperkeruh situasi bagi etnis Rohingya. Ketegangan ini telah berlangsung selama beberapa dekade dan menyebabkan penderitaan bagi masyarakat Rohingya. Dalam memahami konflik ini, kita perlu menelusuri aspek-aspek sejarah dan politis yang membentuk konflik serta mengkaji usaha penyelesaian yang sudah dan perlu dilakukan.

Etnis Rohingya memiliki sejarah yang panjang dan rumit di Myanmar. Mereka diyakini menetap di wilayah Rakhine sejak abad ke-8, meski keberadaan mereka sering kali diperdebatkan oleh pemerintah Myanmar. Beberapa sumber mencatat bahwa Rohingya adalah keturunan pedagang Arab dan Persia yang mengarungi jalur perdagangan kuno, bercampur dengan penduduk setempat selama berabad-abad.

Keberadaan mereka di Rakhine telah berlangsung selama ratusan tahun, namun identitas Rohingya sering kali diabaikan dan ditolak oleh berbagai rezim pemerintah di Myanmar. Sejak berdirinya negara Burma, Rohingya tidak pernah diakui sebagai warga negara dan kerap dianggap sebagai migran ilegal dari Bangladesh, meskipun banyak dari mereka telah tinggal di Rakhine sebelum kemerdekaan negara.

Ketidakadilan yang dialami oleh Rohingya mulai mengkristal sejak awal pembentukan negara Myanmar modern. Kebijakan diskriminatif setelah kemerdekaan membuat Rohingya semakin terpinggirkan. Pemilu 1982 yang mengeluarkan mereka dari daftar kewarganegaraan Myanmar semakin memperkuat posisi mereka sebagai etnis tanpa negara. Konflik dan ketegangan yang muncul menjadi bagian dari sejarah panjang kesalahan atas dasar identitas.

Kolonialisme dan Dampaknya terhadap Etnis Rohingya

Pada masa kolonialisme Inggris, kebijakan yang diterapkan berdampak signifikan terhadap masyarakat Rohingya di Myanmar. Inggris memasukkan buruh dari Bangladesh untuk bekerja di wilayah yang kini dikenal sebagai Rakhine, yang kemudian menyebabkan perubahan demografis. Kolonialisme juga memecah belah masyarakat berdasarkan etnis dan agama, yang memperburuk hubungan antara Rohingya dan komunitas lokal lainnya.

Selama periode kolonial, Rohingya dipekerjakan dalam berbagai sektor, termasuk agrikultur, yang membuat mereka berkembang dalam jumlah dan pengaruh. Namun, kedatangan mereka disambut dengan kecurigaan oleh komunitas lokal yang melihat mereka sebagai ancaman. Ketegangan ini kemudian dimanfaatkan oleh Inggris untuk menerapkan kebijakan divide et impera, memperkuat penguasaan kolonial dengan mengeksploitasi perpecahan di antara penduduk.

Dampak kolonialisme meninggalkan warisan yang rumit bagi etnis Rohingya. Setelah kemerdekaan Myanmar, mereka menghadapi tantangan berat untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara karena pandangan bahwa mereka adalah warisan kolonial. Diskriminasi ini semakin diperparah oleh politik nasionalis yang berkembang, yang terus menempatkan Rohingya di posisi rentan dan termarjinalkan.

Peran Politik Dunia Ketiga dalam Konflik Rohingya

Konflik Rohingya tak hanya menjadi perhatian negara-negara besar, namun juga negara-negara di Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga seringkali memiliki pandangan yang lebih empatik terhadap isu Rohingya, karena berbagi sejarah penjajahan dan perjuangan kemerdekaan. Mereka melihat ini sebagai isu kemanusiaan dan keadilan, lebih dari sekadar masalah domestik Myanmar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun