Mohon tunggu...
Muliansyah A. Ways
Muliansyah A. Ways Mohon Tunggu... -

Penggiat Demokrasi Indonesia dan Politik Lokal

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pemenang Demokrasi, Figur atau Partai Politik

30 Juni 2018   16:06 Diperbarui: 30 Juni 2018   16:23 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilkada tanggal 27 Juni 2018 menunjukkan proses politik lokal di Indonesia yang sangat demokratis dan kesejukan, walaupun hasil yang di peroleh masih bersumber pada hasil quick count pada lembaga survey. 

Namun pada umumnya rakyat Indonesia minimal sudah terjawab dan sudah mengetahui siapa gubernur dan wakil gubernur di 17 provinsi tersebut, karena quick count merupakan salah satu ilmu yang hadir secara cepat dan tepat untuk bagian dari referensi dan rasionalisasi serta akurasi dalam setiap pesta demokrasi di laksanakan (alias pilkada 2018 diIndonesia).

Walaupun data riel masih menunggu kepastian KPUD, karena Ia sebagai lembaga resmi pemerintah dalam menyelenggarakan Pilkada di negeri ini.

Masyarakat Indonesia dan khusus di 17 provinsi dan Kabupaten/Kota yang lagi mengadakan Pilkada 2018 kali ini, adalah satu proses demokrasi yang ingin mencari pemimpin-pemimpin nasional dari daerah-daerah, dimana lewat kemenangan pilkada ini, kita akan mengetahui  kinerja, kehebatan dan prestasi setiap Gubernur terpilih, Bupati dan walikota di masa-masa akan datang, proses penyeleksian pemimpin nasional lewat panggung-panggung pemerintahan tersebut.

Pertanyaan kemudian adalah siapakah pemenang demokrasi lokal di setiap provinsi atau kabuapten/kota dalam Pilkada 2018?. Apakah figur-figur calon tersebut yang menjadi barometer kemenangan atau ini bagian dari strategi partai politik dalam pemenangnya?

Tentu figur dan partai politik adalah tak bisa di pisahkan, karena dua-duanya pasti saling melengkapi satu sama lain, hanya saja dalam kemenangan tersebut, ternyata figur lebih dan menjadi bagian penting dalam setiap kemenangan pesta demokrasi, alhasil partai terkadang memiliki power baik di daerah, tetapi terkadang figur "keok" atau kalah juga dalam pertarungan, sebagaimana terjadi di sejumlah daerah.

Kajian ilmiah yang di lontarkan Suwignyo Widagdo (190 -- 192: 2016) dalam pandangan menganalisis perilaku pemilih, terdapat dua pendekatan yang dikenal yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis. 

Pendekatan sosiologis menyatakan bahwa preferensi pemberian suara di kota pemilihan merupakan produk dari karakteristik sosial ekonomi seperti profesi, kelas sosial, agama, dan lainnya. Sehingga dapat dikatakan, latar belakang seseorang atau kelompok orang seperti jenis kelamin, kelas sosial, ras, etnik, agama, ideologi, dan asal daerah merupakan variabel independen yang mempengaruhi keputusan memilih.

Sementara untuk pendekatan psikologis, bahwa keputusan memilih terhadap kandidat atau calon didasarkan pada respon psikologis, seperti kualitas personal kandidat, isu-isu yang dikembangkan oleh kandidat, dan performa pemerintah yang saat itu sedang berkuasa. Perilaku memilih dalam konsep pemasaran bisnis pada dasarnya juga dapat diterapkan dalam pemasaran politik. 

Kemudian Kotler dan Kotler (1981) sebagaimana dikutip Ali (2010) menjelaskan perbandingan perilaku memilih antara business marketing dengan political marketing. 

Didalam business marketing, penjual akan menyediakan produk dan jasa, serta sistem komunikasi dipasarkan dan ditransaksikan melalui uang kepada pembeli. Demikian halnya di dalam political marketing, produk dan jasa yang diperdagangkan adalah promises and favors serta informasi yang dikomunikasikan kepada pembeli, sedangkan bentuk transaksi yang diperdagangkan bukanlah uang, namun voices.

Peran seorang tokoh dalam proses pemilu selalu dibutuhkan, bahkan memiliki peran yang sangat signifikan terutama untuk mempengaruhi pemilih. Pada pemilu legislatif, ketokohan pemimpin partai dan calon anggota legislatif memiliki potensi dalam mempengaruhi perilaku pemilih untuk memutuskan apakah memilih partai atau calon dari partai tokoh yang bersangkutan. Demikian juga pada pemilihan kepala daerah, ketokohan dari calon gubernur atau bupati / walikota dapat dijadikan sebagai modal untuk mempengaruhi pemilih.

Kredibilitas calon dapat dengan mudah dinilai oleh pemilih, mengingat antara calon dan anggota masyarakat pemilih sudah ada interaksi dan kebanyakan sudah saling mengenal. Pendapat mengenai pentingnya kredibilitas calon diungkapkan oleh Firmansyah (2007), bahwa pentingnya kemampuan dan kapasitas orang atau kandidat merupakan faktor yang menentukan bagi masyarakat dalam memilih partai politik atau kandidat. 

Sebagaimana kita melihat kontestan Pilkada 2018 adalah figur atau ketokohan kandidatlah yang menjadi jaminan kemenangan, biar partaia pemenang didaerah tersebut, tapi kalau kandidatnya tidak memiliki ketokohan secara riel di masyarakat, maka masyarakatpun tidak akan menentukan pilihan.  

Figur Menentukan Kemenangan Pilkada 2018

Tesis politik pilkada 2018 di 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten juga menunjukkan trend yang sama pada setiap kemenangan pasangan yang menang di basis politik partai tertentu. Jawa Timur dianggap basis politik PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), bahkan menjadi basis politik tersebut mengusung Gus Ipul dan Mbak Puti Soekarno bersama dengan Partai Gerindra (Partai Gerakan Indonesia Raya) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), sedangkan Kofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak di dukung oleh sejumlah partai politik yang notabene Partai Demokrat, PAN (Partai Amanat Nasional), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Partai Hanura (Partai Hati Nurani), Partai Nasdem (Partai Nasional Demokrat) dan Partai Golkar (Partai Golongan Karya), karena partai-partai tersebut bukan juga partai kecil, tetapi kalau di Jawa Timur bukan dianggap partai yang memiliki basis politik di Jawa Timur.

Kini Kofifah-Emil yang tak memiliki basis partai politik besar di Jawa Timur, namun arah jarum menentukan pilihan pemenang Pilkada 2018 yang di dukung partai-partai yang tak memiliki basis besar di Jawa Timur. 

Fakta politik pilkada Jawa Timur inilah menajamkan pikiran kita bahwa partai sekedar kendaraan politik, tetapi figur yang menjadi menaikan dan menentuan elektabilitas politik. Di indonesia bagian timur, kita kembali belajar dari kemenangan Nurdin Abdullah (istilah Prof-Andalan) di provinsi Sulawesi Selatan, tentu kita tahu betul bahwa wilayah Sulawesi Selatan dari jaman ke jaman dan dari periode ke periode adalah basis politiknya partai Golkar.

Golkar lah melahirkan sejumlah tokoh nasioanl dari negeri Sultan Hasanuddin itu, kita tahu betul bahwa Sul-Sel (Sulawesi Selatan) adalah negerinya Presiden ketiga BJ. Habibi dari Partai Golkar, tempat lahirnya wakil presiden Yusuf Kalla dari Golkar, Rizal Malaranggeng juga anak Sul-Sel di Golkar, termasuk Kandidat yang di usung langsung oleh Partai Golkar Nurdin Halid yang tak diragukan lagi kiprahnya secara nasional serta banyak lagi orang-orang Golkar yang berasal dari Sulawesi Selatan. 

Namun sayang seribu sayang, Pilkada 2018 Sulawesi Selatan menjadi pilihan politik yang tidak se irama dengan Pilkada-Pilkada sebelumnya atau pemilu-pemilu sebelumnya, bahwa Golkar telah kalah di kandangnya sendiri.  

Kembali kita melihat Jawa Barat, walaupun hasil dari quick count masih belum di yakini kandidat lain, tetapi penulis menelaah dalam perspektif politik lokal, dimana wilayah Jawa Barat bisa di klaim sebagai wilayah kandang PKS alias wilayah ini pernah di kuasai oleh kader terbaik PKS, tetapi kali ini malah figur yang muncul dan dianggap menang oleh fersi quick count adalah Ridwan Kamil (Walikota Bandung) yang di dukung oleh Partai Nasdem dan partai-partai lain. 

Dari tiga wilayah tersebut, tesis ini meyakinkan bahwa kemenangan demokrasi lokal di daerah-daerah adalah lahir dari kehadiran figur bukan partai politik atau basis partai politik.

Politik memang fluktuatif dan peta dinamika terus berubah-rubah sesuai dengan kondisi dan gerakan-gerakan yang lebih baik, tesis lain kita lihat di Kota Makassar, bahwa calon yang di usung oleh partai politik secara tunggal juga di kalahkan oleh kotak kosong (alias paslon tunggal terkalahkan oleh lawan kota kosong), ini menunjukkan bahwa masyarakat juga ingin ada perubahan, tak sekedar calon yang di usung hanya tunggal atau tidak ada alternatif lain. 

Masyarakat cerdas butuh perubahan, karena hanya sistem atau karena terkadang partai politik hanya mau merekomendasikan calon tunggal (tak ada calon lain), padahal masih bisa bila partai itu memilik proses perkaderan yang bagus, tentu bisa merekomendasikan calon-calon lain yang berpotensi dan menjadi alternatif, bukan semua partai politik mengusung hanya satu saja yang di calonkan, inikan se olah-olah partai tidak memiliki kader, apalagi salah satu kota yang menjadi barometer Indonesia timur bagian timur yakni Kota Makassar.

Disinilah kita mengeketahui bahwa apakah partai pemenang akan menjadi jaminan kemenangan figur tertentu?, ternyata tidak, terbalik pada akhirnya figurlah yang sangat berpengaruh dalam momentum politik apapun di negeri ini (figur yang menentukan kemenangan Pilkada 2018).

Keraguan Atas Perkaderan Partai Politik 

Benar tesis penulis mulai terjawab bahwa partai di Indonesia perlu menjalankan proses perkaderan yang benar bukan tersandra dengan mekanisme transaksional "ada uang ada rekomendasi" atau "tiba saat tiba akal" baru partai merekomendasikan. 

Sehingga partai tak memikirkan proses perkaderan pemimpin masa depan negeri atau mekanisme ideal bahwa figur yang di calonkan harus aspiratif rakyat Indonesia, bukan sekedar mencari figur yang instan dan memiliki modal kapital dan muda "membeli" dan memberi "mahar" partai politik.

Pada akhirnya figur yang di siapkan tidak di terima secara umum oleh masyarakat banyak, disinilah partai perlu belajar dari kelemahan-kelemahan dan kekalahan tersebut, agar partai sebagai bagian penting dari demokrasi, wajib memberi pendidikan politik dan memahamkan masyarakat menjadi wadah yang tepat untuk memilih calon pemimpin masa depan daerah yang punya kapasitas, visioner, pengalaman dan integritas yang baik. 

Tentu partai akan  memunculkan figur-figur yang berpotensi untuk daerah, alias jangan lagi mencari figur-figur yang muncul hanya bermodal kapital, walaupun kapital juga perlu.

Pengalaman di kota Makassar hanya calon tunggal, di Kota Sorong- Papua Barat pilkada 2017 juga hanya calon tunggal dan terjadi juga calon tunggal di daerah lain, artinya proses perkaderan di partai politik patut kita ukur dalam momentum ini.

Sehingga partai politik bagian dari pilar demokrasi juga wajib menyiapkan kader pemimpin bangsa yang lebih potensial, bukan kader instan dan hanya sekedar mencari dan mengusungnya, sama saja kita beli "kucing dalam karung". 

Rakyat akan ragu dan tak percaya lagi ke wadah partai politik, bila partai politik tak belajar dari kesalahan dan kekurangan pada Pilkada-pilkada sebelumnya.

Partai harus menjadi wadah yang tepat untuk melahirkan anak bangsa untuk menjadi pemimpin di negeri ini, partai bukan hanya melahirkan pekerja partai atau hanya kendaraan bagi para pemodal tertentu, tetapi partai wajib menjadi bagian dari instrumen bangsa yang tepat untuk mencerdaskan dan mesejahterakan rakyat yang sebenar-benarnya.

Artinya partai kembali ke tujuan pendirian awalnya dan kembali ke jati dirinya sebagai partai yang berideologi perjuanganya. Kalau hal ini dilakukan, maka yakin dan percaya bahwa partai akan menjadi kepercayaan publik-rakyat, partai akan menjadi wadah yang normatif untuk melahirkan kader pemimpin masa depan yang berkeadaban.  

Wisma Prima-Salemba, 28 Juni 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun