Mohon tunggu...
Muliansyah A. Ways
Muliansyah A. Ways Mohon Tunggu... -

Penggiat Demokrasi Indonesia dan Politik Lokal

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pemenang Demokrasi, Figur atau Partai Politik

30 Juni 2018   16:06 Diperbarui: 30 Juni 2018   16:23 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Peran seorang tokoh dalam proses pemilu selalu dibutuhkan, bahkan memiliki peran yang sangat signifikan terutama untuk mempengaruhi pemilih. Pada pemilu legislatif, ketokohan pemimpin partai dan calon anggota legislatif memiliki potensi dalam mempengaruhi perilaku pemilih untuk memutuskan apakah memilih partai atau calon dari partai tokoh yang bersangkutan. Demikian juga pada pemilihan kepala daerah, ketokohan dari calon gubernur atau bupati / walikota dapat dijadikan sebagai modal untuk mempengaruhi pemilih.

Kredibilitas calon dapat dengan mudah dinilai oleh pemilih, mengingat antara calon dan anggota masyarakat pemilih sudah ada interaksi dan kebanyakan sudah saling mengenal. Pendapat mengenai pentingnya kredibilitas calon diungkapkan oleh Firmansyah (2007), bahwa pentingnya kemampuan dan kapasitas orang atau kandidat merupakan faktor yang menentukan bagi masyarakat dalam memilih partai politik atau kandidat. 

Sebagaimana kita melihat kontestan Pilkada 2018 adalah figur atau ketokohan kandidatlah yang menjadi jaminan kemenangan, biar partaia pemenang didaerah tersebut, tapi kalau kandidatnya tidak memiliki ketokohan secara riel di masyarakat, maka masyarakatpun tidak akan menentukan pilihan.  

Figur Menentukan Kemenangan Pilkada 2018

Tesis politik pilkada 2018 di 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten juga menunjukkan trend yang sama pada setiap kemenangan pasangan yang menang di basis politik partai tertentu. Jawa Timur dianggap basis politik PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), bahkan menjadi basis politik tersebut mengusung Gus Ipul dan Mbak Puti Soekarno bersama dengan Partai Gerindra (Partai Gerakan Indonesia Raya) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), sedangkan Kofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak di dukung oleh sejumlah partai politik yang notabene Partai Demokrat, PAN (Partai Amanat Nasional), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Partai Hanura (Partai Hati Nurani), Partai Nasdem (Partai Nasional Demokrat) dan Partai Golkar (Partai Golongan Karya), karena partai-partai tersebut bukan juga partai kecil, tetapi kalau di Jawa Timur bukan dianggap partai yang memiliki basis politik di Jawa Timur.

Kini Kofifah-Emil yang tak memiliki basis partai politik besar di Jawa Timur, namun arah jarum menentukan pilihan pemenang Pilkada 2018 yang di dukung partai-partai yang tak memiliki basis besar di Jawa Timur. 

Fakta politik pilkada Jawa Timur inilah menajamkan pikiran kita bahwa partai sekedar kendaraan politik, tetapi figur yang menjadi menaikan dan menentuan elektabilitas politik. Di indonesia bagian timur, kita kembali belajar dari kemenangan Nurdin Abdullah (istilah Prof-Andalan) di provinsi Sulawesi Selatan, tentu kita tahu betul bahwa wilayah Sulawesi Selatan dari jaman ke jaman dan dari periode ke periode adalah basis politiknya partai Golkar.

Golkar lah melahirkan sejumlah tokoh nasioanl dari negeri Sultan Hasanuddin itu, kita tahu betul bahwa Sul-Sel (Sulawesi Selatan) adalah negerinya Presiden ketiga BJ. Habibi dari Partai Golkar, tempat lahirnya wakil presiden Yusuf Kalla dari Golkar, Rizal Malaranggeng juga anak Sul-Sel di Golkar, termasuk Kandidat yang di usung langsung oleh Partai Golkar Nurdin Halid yang tak diragukan lagi kiprahnya secara nasional serta banyak lagi orang-orang Golkar yang berasal dari Sulawesi Selatan. 

Namun sayang seribu sayang, Pilkada 2018 Sulawesi Selatan menjadi pilihan politik yang tidak se irama dengan Pilkada-Pilkada sebelumnya atau pemilu-pemilu sebelumnya, bahwa Golkar telah kalah di kandangnya sendiri.  

Kembali kita melihat Jawa Barat, walaupun hasil dari quick count masih belum di yakini kandidat lain, tetapi penulis menelaah dalam perspektif politik lokal, dimana wilayah Jawa Barat bisa di klaim sebagai wilayah kandang PKS alias wilayah ini pernah di kuasai oleh kader terbaik PKS, tetapi kali ini malah figur yang muncul dan dianggap menang oleh fersi quick count adalah Ridwan Kamil (Walikota Bandung) yang di dukung oleh Partai Nasdem dan partai-partai lain. 

Dari tiga wilayah tersebut, tesis ini meyakinkan bahwa kemenangan demokrasi lokal di daerah-daerah adalah lahir dari kehadiran figur bukan partai politik atau basis partai politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun