Mohon tunggu...
mulia nasution
mulia nasution Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Pernah bekerja sebagai jurnalis The Jakarta Post, RCTI, Trans TV. Sekarang bergiat sebagai trainer jurnalistik, marketing dan public relations

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

15 Tahun Transjakarta, Kisah Penumpang Setia

26 Februari 2019   10:15 Diperbarui: 26 Februari 2019   17:09 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Tanpa terasa, pada 15 Januari 2019 lalu, bus transjakarta sudah berusia 15 tahun.  Usia remaja yang sedang binal-binalnya. Namun dalam rentang usia belia itu, transjakarta terasa tumbuh sebagai orang dewasa, sebab manfaat kehadirannya semakin besar. Sedangkan pelayanannya  bertambah lengkap, dan jumlah penumpang yang menikmati jasanya bertumbuh secara pesat.

Pertumbuhan secara cepat dalam hal jumlah penumpang yang menikmati jasa transjakarta, memang drastis terjadi 3 tahun terakhir.  Berdasarkan catatan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), bila pada Januari 2016 jumlah penumpang transjakarta per hari sebanyak 297.000, terjadi lonjakan besar yaitu  663.000 penumpang per hari pada awal Januari 2019. Melonjak 120 persen dalam waktu kurang dari tiga tahun.  

Tentu saja, pertumbuhan ini karena pembukaan rute baru di luar koridor busway hingga ke daerah penyangga Ibu Kota. Kini terdapat 155 rute di seluruh wilayah DKI Jakarta.  Bandingkan sebelumnya, yaitu selama empat tahun pertama sejak beroperasi Januari 2004---rute bus transjakarta masih menerapkan sistem tertutup,  hanya tujuh koridor tahun 2008.

Kali ini, saya  tidak akan membicarakan hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan bus transjakarta maupun jumlah penumpangnya. Ini hanya secuil kisah mengenai pengalaman  saya sebagai penumpang setia transjakarta. Sebagai sebuah pengalaman, tentunya kisah ini subyektif, namun saya sampaikan secara obyektif. 

Sejak koridor 13  yang melayani Cileduk - Tendean - Blok M dibuka pada Agustus 2017, saya memilih transjakarta sebagai moda transportasi utama untuk mencapai pusat kota. Slogannya smart city smart mobility, bagi saya dapat terbukti, dan tidak menguras isi kantong.    

 Kenyamanan yang Mewah     

Matahari yang kokoh menyemburkan sinar lembut, terasa hangat menyambar kulit. Berpendar-pendar di kulit yang masih lembab disiram body lotion. Jalan raya diwarnai kesibukan yang  ceria, lalu-lalang mobil maupun motor di Jalan Cileduk Raya membuat perjalanan kian padat, telinga terdengar pekak saat ada yang sembarangan memencet klakson mobil layaknya kemarahan. Padahal kemacetan hal yang lumrah di Jabodetabek ini.  

Setelah memarkirkan mobil di tempat penitipan tak jauh dari Halte Busway Puri Beta, saya melangkah ringan bersama keceriaan, sengaja memintas dan melompati riang di sebuah pintu tanpa tangga. Saya bergegas, tidak ingin ditinggal oleh bus transjakarta  yang menunggu penumpang naik.

"Wah, kok tidak bisa kartumu, Bu! Mungkin saldonya kurang. Coba Ibu Cek dulu di samping di tenda biru," kata petugas, setelah ia membantu seorang calon penumpang untuk memantik kartu.

Penumpang di belakang si Ibu, seorang pria setengah baya, gelisah ingin buru-buru. Saya juga merasa terganggu dengan trouble   yang dialami oleh  petugas yang telah berusaha membantu. Ingin rasanya melompat dari sisi sebelah gate tempat tab kartu yang  kebetulan kosong, dan tidak ada petugas yang berjaga di pintu sebelah. Apalagi bus yang akan saya tumpangi masih menampung penumpang baru. Jangan sampai terlambat, bisa tidak kebagian tempat duduk.

Kesabaran saya membuahkan hasil, setelah saya berteriak kepada petugas pengatur penumpang agar ditunggu. Masih ada bangku penumpang yang kosong. Saya memilih di bagian deretan bangku paling belakang, bangkunya satu trap di atas bangku lain, dan tentunya lebih nyaman. Hanya beberapa detik kemudian, bus Mercy itu pun melaju menuju halte Puri Beta 1. Di sini penumpang bertambah lagi, namun masih ada 7 bangku yang kosong.

Kenyamanan yang mewah bila bepergian di atas jam 9 pagi. Dapat memilih bangku pavorit sambil menikmati suasana jalan raya di kiri dan kanan jalan. Dapat mengintip pengendara sepeda motor yang kadangkala menerobos mobil di depannya, meski sikap itu dapat membahayakan orang lain. 

Dapat menyaksikan sopir angkot yang berpeluh di depan kemudinya, sementara kabin mobilnya hanya ada satu atau dua penumpang. Bila sopir menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengeluh---mungkin setoran harian angkot belum dapat ia penuhi.

Menjelang Halte Adam Malik di depan Universitas Budi Luhur, kemacetan terjadi karena ada penyempitan jalan, dan ada pula simpang jalan ke kanan ke arah Komplek Deplu. 

Di sini seperti jalan tidak bertuan, pengendara saling terobos ingin cepat. Kebetulan pula di halte sedang ada sebuah bus Jurusan Cileduk Puri Beta - Blok M, menaikkan penumpang sehingga mempersempit jalur. Sepeda motor yang ada di kiri dan kanan jalan pun ingin menerabas padahal di depannya ada pejalan kaki yang sedang menyeberang.

Nah, menikmati jalan layang lapang di atas atau elevated, suatu kenikmatan yang mewah. Bus melaju dengan kecepatan sedang. Di kiri dan kanan jalan, pemandangan bangunan rumah, gedung-gedung tinggi, dan cakrawala Jakarta, membuat perasaan saya lebih tenang. Tidak ada suasana keruwetan, apalagi kemacetan jalan raya.

"Siap-siap, bagi penumpang yang mau turun di Halte JORR,"  kata kondektur yang berpakaian lengan panjang warna putih dan pantalon warna hitam.  Halte itu berada di sebelah jalan tol  JORR atau Jakarta Outer Ring Road Wings Dua.  Namun tidak ada penumpang yang turun. Penumpang yang  naik bus pun nihil. Sesuai SOP (Standard Operating Procedure), bus harus tetap berhenti di setiap halte sekalipun tidak ada penumpang yang turun, dan kemudian dapat melaju lagi untuk meneruskan ke halte  Swadharma.

Di halte Cipulir, ada penumpang yang turun. Halte ini memang melayani salah satu pusat perbelanjaan grosir yang tergolong sibuk di Ibu Kota. Ada  ITC Cipulir dan Pasar Jaya di sini. Ada pula mal baru dan hotel bintang tiga di sebelahnya.    

Biasanya, mobilisasi penumpang yang turun dan naik, terjadi di Halte Tirtayasa. Di sini tergolong tempat transit idaman penumpang. Bagi penumpang yang ingin buru-buru ke arah Blok M (13A), dapat memintas jalur lebih pendek dengan cara berpindah bus yang datang dari arah Halte Tendean. 

Sedangkan bagi penumpang Jurusan Cileduk - Halte Tosari (13C) , Kuningan Barat (13E), Pancoran Barat (13B), namun  ingin transit ke Halte Tendean, dapat turun di sini dan berganti bus (13A). Memang,  bus ke Tosari, Kuningan Barat, atau ke Pancoran Barat, tidak berhenti di Halte Tendean.

Sikap bergeras dan buru-buru, membuat saya salah naik bus. Saat di dalam kabin menikmati kenyamanan dan pemandangan Ibu Kota Jakarta, saya kurang memperhatikan aba-aba dari kondektur. Ternyata bus yang saya tumpangin jurusan ke Pancoran Barat, bukan ke Kuningan Barat seperti tujuan transit saya ke arah Slipi, Jakarta Barat.   

Saya baru tersadar ketika bus di Jalan Tendean, tidak berbelok ke kiri ke arah Jalan Gatot Subroto  namun justru naik jalan layang untuk menyeberang ke arah Halte Pancoran Barat.

"Wah, celaka! Saya salah jalur, harusnya tadi berhenti di Halte Tirtayasa dan pindah bus berikutnya ke Kuningan Barat atau ke Tosari agar dapat transit naik bis ke arah Slipi," kata saya di dalam hati.

Ada rasa malu dan geli dengan kecerobohan ini. Namun sebenarnya, tidak sepenuhnya salah pula, saya menghibur diri. Bagi penumpang yang terbiasa naik transjakarta, saya paham kiat-kiat untuk cepat sampai ke tujuan. Kali ini, saat penumpang lain turun di Halte Pancoran Barat, saya malah bertahan di dalam kabin bus. Ada lima penumpang baru yang naik dengan tujuan ke Cileduk. Bus pun melaju lagi dan memutar balik di bawah jalan layang di kawasan Pancoran.

Dari atas bus, saya melihat ada dua orang polisi sedang menuliskan sesuatu di kertasnya. Mungkin keduanya sedang menuliskan surat tilang bagi sopir kedua mobil yang harus mendapatkan hukuman. Hal itu menambah kemacetan bertambah, jalan memutar pun tersendat.

Salah Naik Ditebus Keterlambatan 

Kesalahan saya naik bus harus ditebus dengan keterlambatan. Macet akibat penyempitan jalan karena sedang terjadi pembangunan tiang penyangga LRT (Light Rail Transit). Tidak lebih dari 25 menit waktu saya terbuang percuma, padahal dari putaran Pancoran ke halte Pancoran Barat di sisis arah sebaliknya, hanya berjarak sekitar 700 meter. Ada 4 bus transjakarta di depan mobil yang saya tumpangi sedang menikmati kemacetan juga.

Saya bersiap-siap dan berjalan ke depan, mendatangi  kondektur bus.       "Saya salah naik bus, tadi hanya memperhatikan kata barat saja. Saya kira ke Kuningan Barat, ternyata ke Pancoran barat," kata saya kepada kondektur sambil tersenyum.

"Oh, Bapak ingin ke arah Kuningan ke Jalan Rasuna Said ya?" jawan kondektur yang memakai topi warna biru.

"Bukan. Saya ingin transit ke arah Slipi. Bila naik ke jurusan Kuningan, biasanya saya berhenti di Halte Kuningan Barat dan pindah bus ke arah tujuan Grogol, Pluit, atau Pantai Indah Kapuk. Lalu berhenti di Slipi," kata saya.

Kondektur tersenyum ramah sambil  menempelkan telapak tangan ke dada bagian kirinya seraya mempersilahkan saya turun.  "Hati-hati melangkah, ada jarak menganga antara pintu ke lantai halte," kata kondektur.

Peringatan sang kondektur membuat saya teringat, suatu sore saya pernah terjatuh saat melangkah di Halte Central Busway Harmoni mau naik ke bus arah Pulogadung (Koridor 2). Saat itu, penumpang berjubel, dan melangkah sambil desak-desakan agar dapat bangku kosong. 

Saya tidak kalah semangat buat bersaing dengan penumpang lain namun abai dengan besaran langkah kaki. Terjerembak dan kaki lecet. Pedih. Karena buru-buru, saya memaksakan diri untuk tetap naik, dan melaju dengan bus. Permukaan tulang kering kaki kanan saya tak mendapatkan pertolongan seperti  obat merah. Seharusnya, saya turun dan meminta bantuan P3k. Tiga minggu kemudian masih terbayang-bayang saat kejadian terjatuh itu.

Nah, sekitar 2 menit kemudian, muncul bus transjakarta Pinang Ranti - Pluit (Koridor 9)  di Halte Pancoran Barat. Meski ada beberapa penumpang yang berdiri di depan pintu, saya menerobos ke dalam dan menemukan bangku kosong. Bangku yang istimewa, sebab bus ini punya bangku yang menutup sendiri bila tidak diduduki. Saat akan diduduki harus ditarik dulu dengan tangan. Penumpang yang di sebelah membantu saya untuk menarik dudukan kursi. Bantuan tulusnya, itulah bentuk keramahan yang istimewa bagi saya di dalam angkutan umum.        

"Maaf Bu, saya terlambat sampai kantor. Saya salah pilih bus, seharusnya naik bus yang lewat tol dari Pinang Ranti, eh malah naik bus yang regular. Saya sudah dekat, mau sampai di Halte Gatot Subroto LIPI, dan nanti saya transit di Halte Semanggi," kata seorang penumpang berusia belia menjawab telepon, dan suaranya terdengar kencang.

Dari kata-katanya, saya mendengar ia akan menuju ke sebuah mal di kawasan Semanggi.  

"Oh ya Bu, kawan-kawan lain sudah pada nyampe kah?" lanjutnya. Ia memakai head set di telinganya saat bertelepon ria dan cuek dengan penumpang lain.

Dalam hati, saya menghibur diri, ternyata hari ini bukan hanya saya yang mengambil langkah keliru dalam memilih bus yang harus ditebus dengan keterlambatan. Sambil memandangi jalan raya, saya menyaksikan kesibukan polisi lalu lintas menghentikan mobil yang melanggar aturan plat nomor ganjil-genap. 

Hari ini tanggal genap, sedangkan plat nomor mobil yang kena tilang, punya plat ganjil. Kalau saya juga menjadi sopir mobil Ford Escape Limited yang berplat ganjil ke pusat kota, saya akan terkena tilang. Dengan naik bus yang nyaman ini, saya merasa lebih santai, rilek, dan enjoi menikmati suasana di jalan raya Ibukota. Lebih hemat bahan bakar dan ongkos perjalanan. Smart city smart mobility, itu tagline transjakarta. 

Bagi saya, kenyamanan berada di angkutan transportasi umum ini, hak publik yang sudah lama terabaikan pemerintah. Namun kini ditebus dengan kenyamanan di dalam angkutan transjakarta.

Seiring dengan derasnya lonjakan penumpang setahun terakhir, pada jam sibuk seperti pagi hari saat jam berangkat kantor, atau sore hari saat jam pulang kantor, jangan membayangkan kenyamanan berada di dalam transjakarta. Penumpang biasanya penuh sesak dan berdesak-desakan, bahkan berjubel seperti sardencis. 

Pengalaman di Koridor 13, pada jam sibuk pelayanan buat bangku prioritas pun sering terabaikan, karena tingkat kesadaran penumpang buat memberikan bangkunya kepada orang lain, relatif rendah. Sementara kernek bus pun sering abai  buat mengingatkan penumpang lain agar merelakan kursinya bagi penumpang prioritas seperti ibu hamil,orang cacat, atau lansia. Harap maklum!   Kehidupan kita memang semakin terkotak-kotak dan individualistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun