***
Turi melangkah lesu. Ia merasakan tubuhnya lemas. Ketika ia meninggalkan kantor jawatan itu, si gadis manis tengah bergulat membendung kesedihan hatinya. Entah sudah berapa kali penolakan ganjil seperti itu yang ia terima. Turi sendiri enggan  berminat menghitung jumlah kantor, perusahaan swasta maupun jawatan---yang memperlakukan dirinya seperti tadi: menolak lamarannya. Berbagai dalih yang mereka ketengahkan agar menampik kehadiran Turi. Ada yang mengatakan, Turi tak punya ijazah mengetik dan kursus komputer! Belum punya pengalaman kerja! Nilai ijazah yang terlalu rendah ! Dan yang paling menyakitkan, bahkan membuat Turi risau karena terlalu biasa: Tidak ada lowongan! Padahal menurut 'orang dalam' yang memberi info, lowongan justru hanya bagi keluarga orang-orang tertentu saja---mungkin keluarga pejabat atau direksi.
Turi terpaku sesaat sambil menghela napas panjang. Kemudian gadis itu tertatih menuju shelter sambil mengepit lamarannya. Dalam keadaan hati yang galau seperti ini, ia cuma mampu  menghibur diri dan mencoba untuk memahami  kenyataan bahwa jumlah peminat lapangan kerja sudah membludak, sementara  lapangan kerja---yang dapat menampung mereka, jauh dari menyukupi.  Sialnya lagi, Turi memang tak punya keterampilan istimewa---yang dapat menunjang kesuksesannya. Menjahit blus untuk wanita? Uh, gadis itu sungguh jauh dari  pandai buat kerjaan menjahit. Turi hanya bisa bila ditugaskan menyetrika atau melipat kain. Keterampilan komputer? Ah, dulu ketika masih SMA ia memang pernah berangan-angan mau ikut Les Komputer dan Pembukuan. Namun keuangan keluarga yang 'senen-kemis', tak memungkinkan gadis itu memasuki kursus keterampilan seperti itu. Apalagi ikut kursus Bahasa Inggris berbiaya mahal, entahlah!
Hap! Turi melompat gesit ke dalam bus kota. Ia menerobos penumpang lain agar mencapai rusuk kabin bus. Pikirannya pun membayangkan di kabin bus kota ini seperti muatan sardencis di sebuah kaleng kecil. Tak jauh berbeda hal ini  dengan kepengaban yang ia rasakan pada angkutan umum---yang lain dan pernah ia nikmati. Berjejalan dan saling tumpang-tindih seperti ikan sardencis kalengan.
Di sebuah perempatan, Turi pun memberi isyarat pada sang kondektur. Bus yang ia tumpangi itu mengurangi kecepatan, dan berhenti di depan shelter. Gadis itu melompat gesit!
"Sekali ini aku harus memberanikan diri," Turi berkata di dalam hatinya.
Ya, kapan saatnya lagi?
"Tak perlu terlebih dulu menghadap Kepala Personalia sebagaimana kebiasaan pencari kerja---yang mengedepankan sopan-santun," pikirannya menerawang lagi.
Memang, gadis itu menginginkan agar langsung menghadap Pemimpin Perusahaan---yang barangkali saja akan memberinya lapangan pekerjaan.
Turi mengetuk pintu perlahan. Di dalam hati ia menggamit doa. Semoga  kali ini kekecewaan yang membludak, dapat pupus, dan  terobati rasa hausnya untuk bekerja. Apabila ia sudah bekerja dapat meringankan beban keluarga atau bahkan membantu kehidupan keluarga besarnya. Nggak apa toh jika studinya terhambat  lantaran kesederhanaan, dan  ekonomi sulit yang menerpa keluarga selama ini.
"Tetapi adik-adikku harus jadi Sarjana," Turi pernah menghibur hatinya seperti itu. "Mereka mesti jadi orang pintar dan jangan sampai mengemis-ngemis ke sana ke mari agar dikasih pekerjaan seperti diriku!"