Syekhah Rahmah duduk tenang. Ia menatap ke depan penuh perhatian. Di hadapannya duduk seorang perempuan paruh baya, ditemani gadis remaja belasan tahun.
Pelan ibu itu menyodorkan sesuatu ke hadapan Syekhah Rahmah, sembari berkata, :
"Tuan guru, kutitipan anakku untuk belajar disini. Ini ada segantang beras untuk makannya, sedikit uang untuk keperluan sekolahnya, serta sebatang rotan. Jikalau macam-macam ia berulah nanti, sila tuan guru pukul dia dengan rotan ini."
Syekhah Rahmah tersenyum. Dipandangnya calon muridnya itu dengan seksama, seakan hendak memastikan kebulatan tekad. Ia lalu berkata pada si ibu,
"Bawa kembali uang ini, Amak. Insya Allah disini sudah cukup persediaan untuk keperluan sekolahnya. Gunakanlah untuk keperluan yang lain. Biarlah beras ini saja untuk makan si gadis. Rotan ini pun akan saya pakai seperlunya."
Pada akhirnya, Syekhah Rahmah tak pernah mengeluarkan rotan itu dari penyimpanannya. Diam saja ia di dalam lemari, sampai sang gadis lulus menuntut ilmu.
***
Filosofi Rotan
Potongan kisah diatas diambil dari buku Perempuan yang Mendahului Zaman karya Khairul Jasmi. Sebuah novel-biografi yang mengungkap kisah tentang Rahmah el Yunusiah, pendiri Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang, sebuah sekolah perempuan pertama di Indonesia, sekaligus salah satu tokoh pendidikan revolusioner dalam sejarah.
Satu hal unik dapat kita lihat dari cerita diatas. Orangtua Minangkabau saat mengantarkan anaknya bersekolah membawa setidaknya tiga benda, yakni beras, uang dan sebatang rotan.Â
Bukan sembarang pemberian, pada ketiganya tersimpan makna yang dalam, mewakili sikap orangtua terhadap institusi pendidikan, terutama pada guru yang akan mendidik anaknya kelak.
Beras dan uang dapatlah dipandang secara harfiah sebagai sebuah bekal si anak dalam menempuh pendidikan. Beras adalah makanan pokok, untuk memenuhi kebutuhan pangan si anak. Uang menjadi representasi biaya yang dibutuhkan selama bersekolah. Entah itu untuk gaji si guru, operasional sekolah, ataupun mungkin keperluan si anak sendiri.
Bagaimana dengan rotan? Nah, benda ini punya kesannya tersendiri.
Teman-teman tentu masih ingat profil lazimnya seorang guru di zaman dahulu, terutama guru mengaji. Duduk di depan, mengawasi santri belajar mengaji, sebatang rotan melekat di tangan.
Selain berguna sebagai penunjuk materi di papan tulis, rotan juga berfungsi ganda sebagai alat penghukum.
Tak kurang dari telapak tangan, betis ataupun hanya sekedar meja di hadapan pernah menjadi sasaran kelebat benda kecil, liat, dan didatangkan dari dalam hutan itu. Kurang lengkap rasanya seorang guru bila tak dilengkapi dengan rotan ataupun mistar kayu.
Rotan menjadi simbol penegakan kedisiplinan dalam proses belajar. Jangan macam-macam bila tak mau mencicipi belaiannya. Dijamin warna merah akan menjadi penghias betis. Mengadu ke rumah? Alamat rotan simpanan ibu yang akan beraksi. Hehe.
Guru dan rotan seakan menyimpan sebuah pesan : kau belajarlah betul-betul kalau tak mau benda ini hinggap di tubuhmu.
Kultur di Minangkabau menjadi menarik karena justru rotan itu diserahkan orangtua bersamaan dengan si anak. Seakan-akan orangtua merelakan anaknya untuk disambit oleh guru. Siap lahir batin andaikan si anak dihukum karena kenakalannya.
Namun bila direnungi lebih jauh, prilaku itu justru mengandung simbol kepercayaan, kepasrahan dan rasa hormat orangtua terhadap guru.Â
Menitipkan anak bermakna menyerahkan bulat-bulat sang anak untuk belajar. Penuh keyakinan bahwa sosok dihadapannya akan mendidik anaknya menjadi manusia berbudi dan berilmupengetahuan. Tanpa ragu!
Oh, betapa itu adalah sebuah sikap yang terbilang langka belakangan.
Hubungan Guru-orangtua, respek yang hilang...
Di masa sekarang, mungkin terbilang jarang kita temui guru yang masih menggunakan rotan. Namun cerita soal konflik guru dan wali murid belakangan semakin sering diberitakan. Tak jarang pertikaian itu berujung penganiayaan.
Baru-baru ini bahkan mencuat kasus guru Supriyani yang dipenjarakan oleh orangtua siswa karena diduga memukul salah seorang anak didik. Belakang terbukti tuduhan itu palsu.
Kisah-kisah miris itu seakan mempertontonkan semakin berkurangnya rasa hormat dan kepercayaan orangtua terhadap guru. Hubungan keduanya seolah seperti konsumen dan produsen saja. Seolah-seolah karena sudah membayar uang sekolah, maka orangtua dapat bertindak semaunya. 'Kan saya sudah bayar?!'
Usaha-usaha guru mendisiplinkan anak dipandang sebagai bentuk kekerasan. Tanpa tedeng aling-aling, orangtua datang menuntut guru tanpa mau tahu akar masalah.Â
Laporan dari anak disikapi sebagai sebuah aduan yang memposisikann anak selalu sebagai pihak yang benar. Lambat laun, sikap ini menular ke anak. Hilang sudah sopan santun.
Mari menengok lagi pada beberapa kebiasaan di tempat lain soal menghormati guru. Jepang misalnya. Negara super maju ini secara aneh tidak punya hari Guru Nasional. Namun respek terhadap profesi guru dijunjung tinggi dan dijalankan oleh Masyarakat sepanjang tahun.
Jamak kita temui di internet ataupun lewat komik, novel dan film dari negeri Sakura nukilan-nukilan kisah pendek tentang respek pada guru. Seorang tua bisa saja bersikeras memberikan kursinya di kereta pada seorang yang jauh lebih muda hanya karena melihat tanda pengenalnya sebagai seorang guru. Atau toko yang memberikan diskon khusus untuk semua produknya hanya untuk guru.
Dari film anak-anak semisal Doraemon pun kita saksikan pula bagaimana orangtua dan para murid menaruh hormat yang dalam pada pak guru meski beliau adalah seorang yang keras. Kunjungan guru ke rumah menjadi hal yang sakral bagi orangtua dan murid.
Di desa tertentu di Indonesia ada kebiasaan memberikan gulai kepala kambing sebagai simbol penghormatan kepada guru mengaji setempat saat ada kenduri. Posisinya didahulukan selangkah, ditinggikan setingkat.
Hari Guru dirayakan setiap tahun. Namun di tengah ketidakpastian kesejahteraan, tekanan ekonomi dan beban kerja yang menumpuk, guru masih harus menghadapi tekanan secara mental bernama ketidakpercayaan dan kurangnya rasa hormat.
Penghormatan kepada guru perlu ditunjukkan oleh orangtua, sehingga hal yang sama juga akan terpupuk pada diri anak. Bukankah konsep teladan adalah metode mendidik paling ampuh?
Mari menitipkan rotan pada guru..
Sesuai dengan momen hari guru, ada beberapa hal yang bisa kita, para orangtua, lakukan untuk 'menitipkan rotan' pada para guru anak-anak kita, menunjukkan rasa hormat dan kepercayaan.
Membangun komunikasi
Komunikasi yang terjalin baik antara wali murid dan guru akan menumbuhkan sikap saling hormat dan percaya. Jangan sungkan untuk bertanya langsung kepada guru bila mendapati hal yang kurang jelas di sekolah.
Apalagi bila informasi didapatkan dari anak semata. Hindari bereaksi spontan dengan memposting keluh kesah di media sosial. Akan lebih bijak bila hal tersebut dikomunikasikan terlebih dahulu.
Cara orangtua berkomunikasi dengan guru akan menjadi contoh nyata bagi anak tentang bagimana menunjukkan rasa hormat pada orang yang telah memberikan ilmu pengetahuan.
Menghormati budaya dan aturan sekolah, menghormati guru
Miris rasanya melihat salah seorang wali murid datang menjemput anaknya dengan hanya bercelana pendek dan berbaju kaos selengan. Memperlihatkan tato di lengan kiri dan kananya. Padahal sang anak bersekolah di sekolah Islam!
Tempatkanlah diri dengan baik. Contohkan kepada anak bagaimana menghargai institusi Pendidikan dan para gurunya dengan berpakaian yang pantas. Tak perlu bagus, asal sopan dan rapi. Bukankah kemampuan menempatkan diri sesuai situasi sangat penting untuk dicontohkan?
Demikian pula dengan aturan merokok.
Ah, saya kira, hasrat menghisap tembakau itu masih bisa ditahan sebentar saat ada keperluan ke sekolah. Toh, tidak akan mempertaruhkan nyawa juga kan kalau tak merokok sebentar? Hehe.
***
Hari guru diperingati hari ini, 25 November. Sejak pagi berseliweran murid berseragam sekolah membawa berbagai bingkisan untuk guru. Buket bunga, makanan, ataupun cenderamata, semua disiapkan sebagai unjuk perasaan hormat untuk sang guru tercinta.
Para orangtua pun dapat pula ikut serta, dengan turut menanamkan rasa hormat dan kepercayaan pada guru. Tanamkan dan contohkan bagaimana menghargai guru.
Lewat respek dan kepercayaan orangtua, tentu guru akan memberikan pula segala daya upaya mendidik anak-anak yang kita titipkan.
Murid memberi bingkisan, orangtua menitipkan rotan.
Salam hormat para guru, selamat Hari Guru!
Curup,
25.11.2024
Muksal Mina Putra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H