Beras dan uang dapatlah dipandang secara harfiah sebagai sebuah bekal si anak dalam menempuh pendidikan. Beras adalah makanan pokok, untuk memenuhi kebutuhan pangan si anak. Uang menjadi representasi biaya yang dibutuhkan selama bersekolah. Entah itu untuk gaji si guru, operasional sekolah, ataupun mungkin keperluan si anak sendiri.
Bagaimana dengan rotan? Nah, benda ini punya kesannya tersendiri.
Teman-teman tentu masih ingat profil lazimnya seorang guru di zaman dahulu, terutama guru mengaji. Duduk di depan, mengawasi santri belajar mengaji, sebatang rotan melekat di tangan.
Selain berguna sebagai penunjuk materi di papan tulis, rotan juga berfungsi ganda sebagai alat penghukum.
Tak kurang dari telapak tangan, betis ataupun hanya sekedar meja di hadapan pernah menjadi sasaran kelebat benda kecil, liat, dan didatangkan dari dalam hutan itu. Kurang lengkap rasanya seorang guru bila tak dilengkapi dengan rotan ataupun mistar kayu.
Rotan menjadi simbol penegakan kedisiplinan dalam proses belajar. Jangan macam-macam bila tak mau mencicipi belaiannya. Dijamin warna merah akan menjadi penghias betis. Mengadu ke rumah? Alamat rotan simpanan ibu yang akan beraksi. Hehe.
Guru dan rotan seakan menyimpan sebuah pesan : kau belajarlah betul-betul kalau tak mau benda ini hinggap di tubuhmu.
Kultur di Minangkabau menjadi menarik karena justru rotan itu diserahkan orangtua bersamaan dengan si anak. Seakan-akan orangtua merelakan anaknya untuk disambit oleh guru. Siap lahir batin andaikan si anak dihukum karena kenakalannya.
Namun bila direnungi lebih jauh, prilaku itu justru mengandung simbol kepercayaan, kepasrahan dan rasa hormat orangtua terhadap guru.Â
Menitipkan anak bermakna menyerahkan bulat-bulat sang anak untuk belajar. Penuh keyakinan bahwa sosok dihadapannya akan mendidik anaknya menjadi manusia berbudi dan berilmupengetahuan. Tanpa ragu!