Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Herve Renard, Dominasi, dan Kendali Ruang

23 November 2022   16:03 Diperbarui: 24 November 2022   14:00 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Arab Saudi Herve Renard memberi arahan pada laga Grup C Piala Dunia 2022 Qatar antara Argentina vs Arab Saudi di Stadion Lusail, Doha, pada Selasa 22 November 2022. (AFP/KHALED DESOUKI via kompas.com) 

"Many believe a team with more possession is more dominant. But that depends on how you look at it. A team without the ball can still have control. For some coaches that [possession] style is more a matter of PR & image."-Jose Mourinho

Wajah Lionel Scaloni kusut masai. Pelatih termuda di gelaran Piala Dunia Qatar 2022 itu bak mati akal. Sepuluh kali tim Argentina besutannya terjebak offside. 

Semua upaya telah dikeluarkan, termasuk mengganti para gelandangnya dengan pemain tipe menyerang. Namun jangankan gol, peluang saja sulit didapat.

Angka penguasaan bola mutlak berada di sisi Lionel Messi dan kawan-kawan. 69,2% berbanding 30,8%. Pertandingan berada sepenuhnya dibawah kendali Albiceleste. 

Namun benarkah begitu? Menyimak ujaran Jose Mourinho diatas, sesungguhnya Herve Renard yang mengontrol jalannya laga, melalui kendali ruang.

***

Sejak Barcelona asuhan Pep Guardiola meraih sukses dan membuat publik jatuh cinta dengan gaya bermainnya.

Terma dominasi sebuah pertandngan seringkali dimaknai tunggal sebagai sebuah penguasaan bola di atas 60% dan kemampuan pressing di daerah pertahanan lawan.

Gaya bermain seperti itu menjadi penerjemahan dari sepakbola menyerang. Sebagai antitesis, maka sepakbola bertahan adalah tim yang mundur sangat dalam ke daerah sendiri, menutup semua ruang tembak, lalu menyerang balik dengan mematikan.

Cerita tim yang memenangkan pertandingan dengan penguasaan bola yang minim tentu bukan barang baru. Namun klaim dominasi tanpa bola akan membuat kening berkerut.

Bagaimana bisa?

Maret 2018, Manchester United asuhan Mourinho menang tipis 2-1 atas Liverpool dengan penguasaan bola hanya sebesar 31,9% saja. Seusai laga The Special One memuji anak asuhnya dengan mengatakan bahwa timnya memegang kendali pertandingan tanpa bola.

"Tim kami selalu memegang kendali. Bahkan di saat bola mati, tendangan sudut, situasi berbahaya kami memegang kendali"

Media pun ribut. Apa maksud Mou? Bagaimana mungkin dominasi dilakukan tanpa bola?

Mantan anak asuh Mou di Madrid,  Xabi Alonso dalam wawancaranya di ESPN, melontarkan pernyataan yang bisa jadi merupakan penerjemahan dari kalimat Mourinho tadi,

"There was phases of the game when we were not dominant, but we were in control. For example, there was a feeling that every corner against us was a chance for us. When we countered...Mesut (Oezil) could carry the ball 30 yards brutally, Cristiano ran up the oppsite side knowing that he woud get the ball at the end of the move, and Karim and di Maria. Pure power"

Alonso tentu paham betul bagaimana Madrid menerjemahkan instruksi Mourinho sehingga mampu memecahkan rekor poin dan gol La Liga 2011/2012 (100 poin dan 121 gol) meski minim penguasaan bola dan bermain dengan serangan balik, terutama kala berhadapan dengan tim-tim besar. 

Dengan memanfaatkan ruang, kesalahan lawan dan kemampuan pemain, Madridnya Mourinho menjadi sangat berbahaya.

Peluang menang melalui penguasaan bola yang minim lumrahnya digapai melalui pemanfaatan ruang-ruang kosong peninggalan lawan yang asyik menyerang.

Persoalan ruang (space) selalu menjadi perhatian khusus para pelatih dan pemain. Pendekatan taktikal tim diarahkan untuk menciptakan ruang berbahaya yang dapat dimanfaatkan menjadi peluang gol.

Suhu taktik dari Italia, Arrigo Sacchi kala membawa Milan meraih label the dream team memperkenalkan taktik pressing tingkat tinggi yang ditujukan untuk mengendalikan ruang pula.

"Pressing is not about running and it is not about working hard. It is about controlling space"

Masih belum lekang dari ingatan ungkapan Luciano Spaletti setelah Napoli besutannya menghancurkan Ajax 4-2 di Liga Champion musim ini.

"Sistem tidak lagi ada di sepakbola, ini semua tentang ruang yang ditinggalkan oleh lawan. Anda harus cepat mengenali mereka dan mengetahui saat yang tepat untuk menyerang, memiliki keberanian untuk memulai gerakan bahkan saat terdesak,"

Apa yang dilakukan oleh Herve Renard malam tadi seolah implementasi dari terma mendominasi tanpa bola ala Mourinho, sekaligus mengendalikan ruang dengan pressing seperti Sacchi.

Renard mendorong garis pertahanan timnya setinggi mungkin hingga nyaris mendekati garis tengah. Taktik ini sebagaimana lazimya dilengkapi pula dengan jebakan offside untuk mengkompensasi ruang lebar yang ditinggalkan di belakang.

Garis pertahanan tinggi Arab Saudi (sumber : akun twitter @TheEuropeanLad)
Garis pertahanan tinggi Arab Saudi (sumber : akun twitter @TheEuropeanLad)

Pilihan yang beresiko tinggi ini terbilang sukses. Total 10 kali pemain Argentina terjebak offside, tiga diantaranya diwarnai gol yang dianulir.

Defensive line ini ditemboki pula dengan menumpuk gelandang di tengah dalam formasi 4-5-1, dan diinstruksikan untuk melakukan pressing agresif. Dampaknya kesempatan Messi, sebagai sumber kreativitas lawan, untuk mendapat bola dapat diminalisir.

Jenius bukan main.

Dengan garis bertahan tinggi dan lini tengah nan penuh, Renard mengontrol ruang bermain Argentina hanya di daerah pertahanan sendiri dan ke sisi sayap saja. 

Touchline is the best defender. Dengan mempersempit ruang bermain lawan ke tepi, maka tim memiliki tambahan pemain bertahan dalam bentuk garis tepi lapangan. 

Opsi umpan dan ruang gerak lawan menjadi terbatas. Ya kalau tak mampu melewati lawan, kompensasinya bola akan keluar. Lazimnya, garis pertahanan tinggi dilakukan oleh tim menyerang. 

Bila menilik tim Guardiola dan Juergen Klopp, para penganut mazhab garis pertahanan tinggi, gaya bertahan seperti ini dilengkapi dengan penguasaan bola yang dominan. Counter-pressing pun dilakukan untuk secepatnya merebut kembali bola dan menyerang.

Maka yang dilakukan oleh Renard semalam adalah anomali. High defensive line, high pressing dengan kecenderungan bertahan! 

Ditambah lagi dengan agresifitas pressing para pemain depannya, ruang bermain Argentina semakin sempit. Albiceleste bak dikurung di area pertahanannya sendiri.

Hasilnya dapat dilihat dari gol penyama kedudukan. Pressing ke Messi di garis tengah sukses membuat Hassan Al Tambakti, yang notabene adalah bek tengah, memenangkan bola. Umpan yang dilepas Abdulelah Al Maliki lalu berbuah gol Saleh Al Shehri.

Opsi ini tentu bukan tanpa sebab. Bisa jadi Renard memperhatikan bahwa lini serang Argentina minim pemain cepat. Lautaro Martinez adalah finisher berkelas, namun ia bukan sprinter. 

Angel di Maria dan Alejandro Gomez tak lagi muda. Leo Messi masih pemain hebat, namun kecepatannya tak lagi sama seperti kala menduplikasi gol Maradona dulu. Kira-kira begini mungkin pikiran Renard

"Ah, kalaupun lewat juga masih bisa dikejar kok"

Selain itu, lini belakang Arab Saudi juga terlihat sudah membaca dan bersiap adu lari dengan Messi dan kawan-kawan. Terlihat di babak kedua kala Lautaro kalah adu sprint dengan Ali el Boleahi meski lolos jebakan offside.

Pertimbangan berikutnya, Argentina tak punya penyerang dengan tipe target man yang mampu memenangkan duel udara. 

Ketiadaan tipe penyerang seperti ini menjadikan opsi serangan Argentina terbatas pada passing pendek nan cepat dan kemampuan individu para pemainnya.

Maka crossing-crossing di Maria nampak seolah langkah putus asa saja. Tak ada yang mampu benar-benar mengancam lewat udara. Alhasil, pola serangan Argentina tampak monoton dengan mengandalkan sisi sayap kanan saja.

Mengutip tweet dari the Flanker, dengan garis pertahanan tinggi dan 95 aksi defensif, Herve Renard dan Arab Saudi jauh lebih siap menghadapi laga ini. Pilihan taktiknya, ditambah dengan kedisiplinan, determinasi dan aksi heroik penjaga gawang terbukti berhasil.

***

Thomas Muller didaulat sebagai pemain unik dengan role penafsir ruang karena kemampuannya memanfaatkan ruang sekecil mungkin untuk menjadi peluang baik bagi dirinya sendiri ataupun rekannya. 

Maka bolehlah kiranya Herve Renard didaulat sebagi pengendali ruang atas kejeniusan taktiknya.

Setidaknya pada match semalam.

Curup,
23.11.2022
Muksal Mina Putra

Refferensi : 1, 2, 3, 4, 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun