"Di mana, Yah? Sudah hampir magrib"
"Sebentar lagi pulang, masih kumpul"
"Usahakan magrib di rumah ya. Anak-anak menunggu mau jamaah"
Sejak menikah dan punya anak, kehidupan saya nyaris sepenuhnya berubah. Kebiasaan, aktivitas dan manajemen waktu hampir semuanya berwujud baru. Tak ada lagi cerita pergi pagi lalu pulang malam. Sebelum magrib harus sudah berada di rumah, atau senapan mesin akan menyambut di depan pintu, haha.
Beberapa waktu lalu sempat viral bahasan mengenai hitung-hitungan biaya yang dikeluarkan untuk membesarkan anak hingga dewasa dan mandiri. Ternyata nominal yang dibutuhkan terbilang besar, sampai pada bahasan perbandingan untung-rugi finansial bila punya atau tidak punya anak.
Bahasan dari si pencuit sampai pada kesimpulan bahwa lebih baik tidak punya anak, atau dibungkus lagi dengan kalimat memiliki atau tidak memiliki anak adalah pilihan. Bahasan yang tentu saja memantik pro dan kontra warga maya.
Hampir semua pasangan memiliki impian untuk memiliki keturunan. Kenapa hampir? Ya, tentu saja akan ada pasangan yang berkomitmen untuk tidak punya anak dengan berbagai pertimbangan, seperti di atas tadi.
Momen-momen bahagia membesarkan anak, kelucuan-kelucuan khas masa kanak-kanak sudah membayang begitu sebuah pasangan sah dinyatakan sebagia suami istri. Thus, memiliki anak kemudian menelurkan konsekuensi lebih lanjut.
Ada tanggung jawab besar yang harus diemban oleh orangtua. Membesarkan anak manusia sangat berbeda dengan misalnya memelihara Murai Batu, toh? Sama-sama mahal, namun dengan nilai yang sama sekali tak sama.
Semua pakar parenting sepakat bahwa orangtua merupakan guru pertama bagi anak, rumah adalah sekolah utama, dan pencapaian anak pada fase emas perkembangan sangat dipengaruhi oleh kapasitas orangtua dalam menumbuhkembangkan potensi anak.
Mengingat besarnya tanggung jawab dan peran, maka saya kira sangat wajar bila terjadi perubahan yang besar pada diri pasangan begitu memiliki anak. Tak lain dan tak bukan, punya anak maka berarti bersiap menjadikan anak sebagai point of references alias titik acuan dalam setiap sendi kehidupan keluarga.
Perencanaan visi rumah tangga, aktivitas dan proses belajar, bertitik tolak dari anak itu sendiri. Setidaknya, ada beberapa aspek kehidupan rumah tangga yang dapat meletakkan anak pada posisi sebagai titik tolak.
Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Abraham Maslow meletakkan sandang, pangan, papan dan kebutuhan seksual sebagai kebutuhan dasar dalam piramida kebutuhannya. Kebutuhan dasar tentu bermakna sebagai aspek pertama yang wajib terpenuhi dalam kehidupan manusia.
Bagaimana mungkin akan mengejar kebutuhan lain semisal eksistensi, bila hal yang paling mendasar justru tidak terpenuhi?
Maka adalah jamak, begitu memiliki anak, orientasi ekonomi orangtua adalah memenuhi kebutuhan dasar anaknya. Pakaian yang baik, makanan yang cukup dan tempat bernaung adalah sederet kebutuhan yang harus dipenuhi demi keluarga.
Coba saja tanya para orangtua yang bekerja banting tulang setiap hari, kenapa kerja? Tentu saja akan dijawab untuk keluarga. Ada istri dan anak yang harus dijamin bisa makan setiap hari, berpakaian dan punya tempat berlindung.
Begitu bicara anak, maka kriteria makanan yang dibutuhkan akan punya label spesial, yaitu makanan bergizi. Terang saja, kebutuhan gizi anak dan orang dewasa tentu berbeda.
Seringkali atas nama penghematan, maka seorang ayah rela makan mi instan rasa kari ayam, asal anak bisa minum susu, makan sayur, buah, ikan dan daging. Atau keikhlasan ayah untuk kebagian kepala ikan yang notabene banyak tulangnya, asal bagian daging cukup untuk diperebutkan anak-anak. Eh, mi dan kepala ikan terkadang memang kesukaan sih, haha.
Para ibu pun juga begitu. Sejak berbadan dua, maka akan mulai pula memilah-milah makanan. Ujaran orangtua, mertua dan dokter dipatuhi baik-baik demi satu tujuan, sang janin sehat walafiat hingga lahirnya nanti.
Apatah lagi pada masa menyusui dan terus hingga anak masuk masa mengkonsumi MPASI. Ibu-ibu akan sangat selektif dan bawel soal makanan yang masuk ke perut anaknya. Bapak? Terserah saja, asal jangan makan batu! Nasib? Bukan. Itu pengorbanan.
Beranjak ke kebutuhan sandang, para orangtua tentu berkewajiban memenuhinya untuk kebutuhan anak. Mulai dari perlengkapan bayi, baju anak yang lucu-lucu hingga pakaian trendi begitu anak mulai masuk masa remaja.
Acuan ekonomi keluarga akan melebar pada kebutuhan sandang anak, tak lagi sebatas pada kata asal ada, namun bertambah kriteria yang sesuai pada harapan orangtua terhadap anak. Entah itu syar'i, keren, kekinian, lucu, dan lain sebagainya.
Begitupun tempat berteduh, rumah subsidi berkamar satu tak lagi cukup begitu anak sudah bertambah jumlahnya. Apalagi bila anak sudah bertambah besar, kebutuhan untuk tempat tinggal yang lebih layak semakin mendesak. Merenovasi rumah, pindah kontrakan atau mengirim anak ke sekolah asrama adalah sederet solusi yang berupaya dihadirkan orangtua atas nama kebutuhan papan.
Saya kira, atas nama kebutuhan dasar semua orangtua telah bersepakat bahwa anaklah yang menjadi bahan pertimbangan yang tak terbantahkan.
Acuan, titik tolak, landasan bertindak, atau apapunlah namanya, tak lagi dari ego orangtua, namun dipangkas atas dua kata: demi anak.
Pendidikan Penghuni Rumah
Pada aspek ini, saya tidak membahas soal biaya pendidikan anak yang sudah jelas menjadi tanggung jawab orangtua dan akan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Jadi kita skip ya, kita bahas ke aspek pelaksanaan pendidikannya saja, bil khusus bagi para penghuni rumah, dalam hal ini anak dan orangtua (kucing tidak masuk hitungan!). Kita kupas satu-satu.
Begitu bicara pendidikan anak, maka biasanya orangtua akan mengerucutkan topik bahasan pada pembiayaan. Sedangkan hal terpenting dari pendidikan, yakni kualitas proses, terbilang jarang dikupas. Biarlah itu urusan guru saja, kata Mak Ani, seorang ibu rumah tangga di Mozambik.
Sebuah taman kanak-kanak di daerah Jawa punya satu metode menarik dalam menyeleksi calon siswa baru, yakni mewawancarai orangtua untuk menggali sejauh mana kesamaan visi orangtua terhadap visi sekolah. Maklum saja, sekolah yang bersangkutan menuntut keterlibatan yang besar dari orangtua dalam proses belajarnya.
Maukah orangtua belajar bersama anak? Bersediakah menyediakan waktu untuk membandingkan ukuran dedaunan di halaman bersama anak? Ikhlaskah ayah dan ibu datang bersama anak ke sekolah untuk pagelaran?
Beban sebagai pendidik pertama menuntut orangtua untuk seratus persen menjadikan anak sebagai titik acuan dalam merancang, memilih dan melaksanakan pendidikan bagi anak.Â
Bukankah pendidikan itu bertujuan untuk menumbuh kembangkan potensi anak? Maka wajiblah bila titik tolaknya adalah potensi anak itu sendiri, bukan selera ayah bunda.
Hal-hal seperti gengsi, fasilitas sekolah, jarak, biaya adalah urusan kesekian. Tanda tanya pertama layaklah disematkan pada tanya "Sanggupkah sekolah ini membantu saya mendidik anak?" Yap, membantu alias suplemen atawa pelengkap. Pendidikan utamanya ada di rumah, kan? Awas terbalik!
Setidaknya ada enam aspek perkembangan anak yang harus dikawal tumbuh kembangnya, yakni nilai moral dan agama, fisik dan motorik, kognitif, sosial emosional, bahasa, dan seni. Perkembangan keenam aspek ini lah yang menjadi perhatian orangtua, baik pada pendidikan informal, formal dan nonformal.
Kapasitas orangtua untuk mengenali anak sendiri secara lahir batin alias kenal karakter dan potensi akan sangat berpengaruh pada pilihan model pendidikan yang diambil nantinya. Dengan kata lain, orangtua akan memilih pendidikan yang cocok bagi tumbuh kembang anaknya.
Bagaimana dengan orangtua sendiri?
Menjadi orangtua bukan berarti menutup pintu pengembangan diri. Bahkan peran baru tersebut akan menuntun orangtua ke penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang lebih luas, terutama berurusan dengan anak.
Ada satu prinsip di komunitas Institut Ibu Profesional, sebuah komunitas parenting, yakni raise yourself, raise your children.Â
Prinsip ini bermakna bahwa untuk menumbuhkembangkan anak dengan segala potensinya, maka orangtua lah yang terlebih dahulu belajar dan berkembang. Proses ini akan berkait berkelidan dengan pengembangan anak sendiri.
Misal, kalau mau anak rajin shalat berjamaah, ya contohkanlah di rumah. Kalau mau anak mencontoh akhlak para nabi, ya kuasailah kisah para nabi sekaligus teknik berceritanya. Entah sadar ataupun tidak, keinginan untuk mengembangkan anak akan membawa pula orangtua pada pengembangan dirinya sendiri.
Maka tidak salah bila orangtua perlu menjadikan anak sebagai titik tolak dalam pendidikan baik bagi si anak ataupun dirinya sendiri.Â
"Ah, saya harus jadi lebih baik agar bisa mendidik anak jadi lebih baik juga!" Oh, tentu saja, punya anak itu lebih kompleks dari sekadar memberi makan. Salah sendiri mau punya anak!
Aktitas Keluarga
Bagian ini agak nyambung dengan pendidikan anak yang dibahas tadi. Pendidikan informal alias pendidikan keluarga tentu berbeda pelaksanaannya dengan pendidikan formal di sekolah. Proses mengedukasi anak di rumah,seyogyanya berjalan alami, berdenyut seiring dengan tiap sendi aktivitas keluarga.
Memasak, membetulkan pintu, berkebun, jalan-jalan, reparasi kendaraan adalah beberapa contoh aktivitas yang dapat dilakukan dengan konsep mendidik anak. Tentu saja lagi-lagi acuannya adalah aspek tumbuh kembang anak.
Salat berjamaah bersama keluarga, main hujan, buat gelembung sabun dan lain sebagainya adalah sederet aktivitas sederhana bersama keluarga yang dapat menstimulasi perkembangan anak. Mudah, asal tidak bawel soal kerapihan, kebersihan, keindahan dan kecapekan. Hehe.
Punya sedikit lahan di belakang rumah? Yuk ajak anak berkebun. Kecil-kecilan saja, menanam sayuran yang cepat terlihat hasilnya akan mengundang antusiasme anak. Beli mainan? Kenalkan pada mainan yang memicu kreativitas semisal lego atau balok. Hari libur? Ayo main sepeda!
Adakalanya anak tantrum dengan merengek dan menangis ketika keinginan tidak terpenuhi. Ups, ini peluang untuk mengajarkan bahwa perangai seperti itu tidak akan membantu untuk mendapatkan keinginan. Atau perkara berbagi makanan dengan adik untuk mengajarkan nilai berbagi, atau tidak harus selalu meminjamkan mainan untuk mengajarnya mempertahankan apa yang menjadi miliknya.
Kesemuanya adalah peristiwa sehari-hari dalam pengasuhan anak. Aktivitas harian yang dirancang dan dilaksanakan dengan maksud untuk menumbuhkembangkan anak akan berbeda dengan rutinitas biasa yang tanpa makna.Â
Aktivitas keluarga yang berjalan alami dan dibumbui dengan maksud pendidikan akan membantu orangtua untuk menjalankan pendidikan utama di rumah.
Menurut saya nih ya, menyibukkan anak terlibat dalam tiap aktivitas di rumah adalah solusi agar anak tak menyandera handphone orangtuanya, haha.
**
Saya kira semua sepakat bahwa anak adalah anugerah yang besar dan menuntut tanggung jawab yang besar pula. Bagaimana jadinya anak dewasa nanti adalah buah dari pendidikan yang dialaminya. Dan rumah, adalah tempat utama mendidik anak.
Maka patutlah, saat memiliki anak, orangtua tak lagi bicara soal dirinya sendiri. Keluarga, terutama anak, akan menjadi prioritas utama. Menjadi titik acuan, ke arah mana visi keluarga akan diarahkan.
Repot?
Memang.
Anak sendiri, kan?
Tanggung jawab!
**
Curup,
14.06.2021
Muksal Mina Putra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H