Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Anak adalah Point of References dalam Kehidupan Berkeluarga

14 Juni 2021   12:56 Diperbarui: 14 Juni 2021   17:06 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keluarga. Sumber foto : Emma Bauso/Pexels.com

Acuan ekonomi keluarga akan melebar pada kebutuhan sandang anak, tak lagi sebatas pada kata asal ada, namun bertambah kriteria yang sesuai pada harapan orangtua terhadap anak. Entah itu syar'i, keren, kekinian, lucu, dan lain sebagainya.

Begitupun tempat berteduh, rumah subsidi berkamar satu tak lagi cukup begitu anak sudah bertambah jumlahnya. Apalagi bila anak sudah bertambah besar, kebutuhan untuk tempat tinggal yang lebih layak semakin mendesak. Merenovasi rumah, pindah kontrakan atau mengirim anak ke sekolah asrama adalah sederet solusi yang berupaya dihadirkan orangtua atas nama kebutuhan papan.

Saya kira, atas nama kebutuhan dasar semua orangtua telah bersepakat bahwa anaklah yang menjadi bahan pertimbangan yang tak terbantahkan.

Acuan, titik tolak, landasan bertindak, atau apapunlah namanya, tak lagi dari ego orangtua, namun dipangkas atas dua kata: demi anak.

Pendidikan Penghuni Rumah

Pada aspek ini, saya tidak membahas soal biaya pendidikan anak yang sudah jelas menjadi tanggung jawab orangtua dan akan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Jadi kita skip ya, kita bahas ke aspek pelaksanaan pendidikannya saja, bil khusus bagi para penghuni rumah, dalam hal ini anak dan orangtua (kucing tidak masuk hitungan!). Kita kupas satu-satu.

Begitu bicara pendidikan anak, maka biasanya orangtua akan mengerucutkan topik bahasan pada pembiayaan. Sedangkan hal terpenting dari pendidikan, yakni kualitas proses, terbilang jarang dikupas. Biarlah itu urusan guru saja, kata Mak Ani, seorang ibu rumah tangga di Mozambik.

Sebuah taman kanak-kanak di daerah Jawa punya satu metode menarik dalam menyeleksi calon siswa baru, yakni mewawancarai orangtua untuk menggali sejauh mana kesamaan visi orangtua terhadap visi sekolah. Maklum saja, sekolah yang bersangkutan menuntut keterlibatan yang besar dari orangtua dalam proses belajarnya.

Maukah orangtua belajar bersama anak? Bersediakah menyediakan waktu untuk membandingkan ukuran dedaunan di halaman bersama anak? Ikhlaskah ayah dan ibu datang bersama anak ke sekolah untuk pagelaran?

Beban sebagai pendidik pertama menuntut orangtua untuk seratus persen menjadikan anak sebagai titik acuan dalam merancang, memilih dan melaksanakan pendidikan bagi anak. 

Bukankah pendidikan itu bertujuan untuk menumbuh kembangkan potensi anak? Maka wajiblah bila titik tolaknya adalah potensi anak itu sendiri, bukan selera ayah bunda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun