Â
Satu berita mampir di timeline.
"Sunning telah berinvestasi hampir senilai 700 juta euro untuk mengangkat prestasi Inter Milan."
Sunning Group, perusahaan asal Tiongkok memang telah mengeluarkan banyak modal sejak mengakuisisi klub Italia, Inter Milan, dari pemilik sebelumnya, Erick Thohir. Kucuran dana diberikan dalam rangka menggapai misi mengantarkan kembali Inter ke status sebagai klub elit di Italia dan eropa.
Hal yang wajar. Sebagai sebuah perusahaan tentu Sunning berharap Inter akan memberikan buah manis berupa profit besar. Profit itu bisa didapatkan dengan kombinasi perencanaan yang jelas, manajemen apik, dan modal yang cukup. Ibarat kata, kalau mau ikan besar, tak cukup bermodal umpan anak cacing!
Ups, saya bukan mau bicara soal bola kali ini. Soal investasi tadi hanya pengantar semata. Maklum, saya bukan orang ekonomi yang bisa cas cis cus bicara keuangan, investasi dan sejenisnya. Hanya kebetulan suka sepakbola dan Inter Milan, dan sepakbola sekarang terkait erat dengan urusan investasi dan prestasi.
Sebenarnya saya mau nulis tentang anak. Soalnya, kata investasi seringkali ditemukan bersanding dengan kata anak. Acapkali disebutkan :
"Anak adalah investasi masa depan"
atau
"Anak shalih adalah investasi dunia akhirat"
Apakah dengan begitu maka bermakna orangtua menganggap anaknya sebagai sebuah objek bisnis yang suatu saat akan memberikan keuntungan atau kerugian? Mungkin tak begitu. Kan anak bukan jualanan..
Bagaimana bila kita sepakati bahwa anak sebagai investasi menyimbolkan harapan-harapan orangtua. Agar di masa depan anaknya menjadi "orang". Dapat memberi manfaat bagi orantua,keluarga dan masyarakat. Saya yakin begitu harapan setiap orangtua.
Terbetik tanya dalam diri saya. Jika anak adalah investasi, maka siapa yang jadi investornya? Jika anak adalah Inter Milan, maka siapa jadi Sunningnya?
Jari telunjuk tentu akan mengarah langsung  kepada orang yang paling dekat dengan anak : orangtua.
 Rise Your Children? Rise Yourself First!
Sebagai investor, tentu haruslah menyeriusi perannya agar investasi dapat menghasilkan. Jika ada harapan, maka harus pula ada keseriusan untuk menggapai harapan itu. Ada "modal" yang harus disiapkan.
Anak butuh "dimodali" dengan cukup. Direncanakan pengembangan dirinya. Dirawat pertumbuhannya.
Ada satu motto di komunitas parenting yang kebetulan diikuti oleh istri, yakni Raise Yourself, Raise Your Children.
Terjemahan bebasnya kira-kira begini.
"Kalau mau anak berkembang, kembangkan diri juga!"
Harapan ke anak banyak sekali. Namun, sudahkah memantaskan diri untuk mendampingi anak mencapai harapan-harapan itu? Sudahkah menyiapkan kail, umpan, perlengkapan dan kemampuan memancing yang pantas sebelum memancing ikan hiu?
Proses memantaskan diri inilah penting untuk disiapkan terlebih dahulu. Usahlah berharap akan jadi anak santun bila kitapun acap memaki-maki.
Usah pula berharap anak akan menolong kita di akhirat bila kitapun gagal mencontohkan bagaimana mencintai agama. Ibarat kata pepatah, bagai pungguk merindukan bulan! Eh, betul tidak sih?
Keanehan-keanehan soal harapan orangtua ini seringkali terjadi. Yang punya impian orangtua, yang diberikan beban justru sekolah. Mau anak nilai bagus. Memangnya kita sudah berbuat lebih dari menyuruh-nyuruh dan mengancam-ancam belajar?
"Saya kerja untuk anak-anak. Untuk keluarga. Cari uang cuma untuk mereka"
Seakan-akan anak adalah beban ekonomi. Padahal, sudah banyak contoh tentang keluarga kaya raya namun anak entah dimana. Tahu-tahu sudah ditangkap polisi. Atau keluarga yang orangtuanya dikenal soleh, taat, namun punya anak yang bertabiat macam setan. Aduh...
Modal uang tidaklah cukup. Bukan itu yang dibutuhkan anak. Yang diperlukannya adalah orangtua yang pantas. Investor dan pengelola yang cakap.
Memantaskan diri dapat dilakukan dengan hal-hal sederhana. Memahami anak sebagai manusia, mempelajari bahwa sebagai manusia anak memiliki banyak potensi yang menjadi fitrahnya. Memahami pula bahwa orangtua punya andil besar dalam menentukan potensi si anak berkembang atau tidak.
Mengenali Anak
Seturut dengan berbagai macam tingkahnya, potensi yang dimilik anak pun beraneka pula. Tak ada anak yang dilahirkan tanpa membawa apa-apa (maaf, John Locke!). Dalam dirinya bersemayam berbagai fitrah yang siap untuk disemai bersama orangtua.
Memahami bahwa anak itu punya keunikan masing-masing, akan membentuk mindset orangtua, bahwa setiap anak tak sama. Semua punya ciri khas. Jadi tak perlulah ia dibanding-bandingkan. Lalu, yang muncul kemudian adalah penghargaan.
Kita seringkali berupaya keras untuk menghargai tamu, menyenangkan teman, atasan, dan orang luar lainnya. Tapi acap tak adil pada anak sendiri. Seberapa keras usaha kita untuk menghargainya? Menyenangkannya? Jujurlah, semakin sering kita membanding-bandingkan anak dengan anak tetangga, sebanyak itulah frekuensi harga dirinya dijatuhkan. Hancur!
Padahal, kegagalan mengenali kelebihan anak bisa jadi juga bermakna kegagalan kita menjadi orangtua. Bukankah laiknya orangtua menjadi orang yang paling dekat? Paling mengenal, paling support.
Tapi, kadang kita lebih tahu jenis rumput tetangga beserta pupuk-pupuk yang diperlukan, serta kerentanan-kerentanannya, dibanding bunga indah di perkarangan sendiri.
Lah, sudah begitu, minta didoakan pula!
Mempersiapkan Supportive Environment
Harapan-harapan terhadap anak, tentulah disesuaikan pula dengan potensi mereka. Usah meletakkan beban macam-macam sedangkan kita sendiri gagal mengidentifikasi potensi anak.
Bila sudah tahu, maka langkah berikut adalah menyiapkan lingkungan yang mendukung. Stimulus-stimulus yang mampu memantik perkembangan fitrah anak. Pemantik ini dapat berupa benda, kebiasaan, ataupun rekayasa lingkungan.
Misal, inginnya anak tumbuh minat bacanya. Maka dapat distimulasi dengan menyediakan buku-buku yang menarik. Menempatkannya di posisi yang mudah dijangkau dan terlihat, atau membacakan cerita menjelang tidurnya.
Anak sangat mudah tertarik dengan hal-hal visual. Maka jangan harap buku yang ditumpuk-tumpuk akan disentuhnya. Susunlah buku dengan memperlihatkan bagian paling menarik darinya : sampul.
Idealnya bagi anak, buku disusun berdiri menghadap ke depan. Tak perlu semua, cukup beberapa saja. Sisanya untuk digilirkan pada hari berikutnya.
Tampilan yang dinamis tentu lebih menarik daripada yang begitu saja, disusun berdiri dengan sisi buku menghadap keluar. Kan anak belum bisa baca itu judul disamping?
Ingin anak tumbuh jiwa sedekahnya, sering-seringlah mengajaknya berkeliling, melihat-lihat kehidupan orang lain yang kekurangan. Tunjukkan padanya bahwa mereka adalah orang-orang yang harus dibantu, sebisa kita. Bukankah ada ujar-ujaran, kehidupan sebenar ada di jalanan? Maka jalanan lah yang menjadi supportive environment nya.
Memahami bahwa Orangtua Sesungguhnya adalah Teladan.
Selepas menyediakan lingkungan pendukung, tugas berat berikutnya adalah menjadi teladan. Luangkan waktu untuk membaca setiap harinya. Usahakan terlihat oleh anak.
Bukan untuk pamer, tapi untuk menjadi teladan bagi anak. Tak mungkin anak akan acuh saja bila melihat orang tuanya membaca setiap hari. Ia akan serta merta mengambil bukunya pula, duduk disamping, bertanya ini itu tentang apa yang dibaca. Layani!
Besar harapan akan anak yang gemar bersedekah? Orangtua dulu yang mencontohkan. Pada siapa bersedekah, berserinya wajah saat memberi, dan keikhlasan setelah berbagi. Tak perlu repot-repot menyuruh anak memberi, bila ayah ibunya sendiri tak pernah Nampak berbagi. Sekali lagi, ini bukan riya'. Masa riya' sama anak sendiri. Aneh kan. hehehe.
Ada ujar-ujaran bahwa anak adalah pendengar yang buruk, namun peniru yang ulung.
Terkadang, kebiasaan kita pun ditiru oleh anak, meski tak pernah dimaksudkan untuk mencontohkan. Karena anak memang begitu, sedang berada pada masa modeling, belajar dengan meniru. Maka patutlah kita berhati-hati, jangan sampai ada tindak tanduk kita yang buruk, terlihat oleh anak.
Bila nanti anak berkelakuan macam setan, bolehlah bertanya kita dalam hati :
"Setan mana gerangan yang diteladani?"
**
Sebagi investor, modal yang dimaksud dalam diri orangtua tentu bukanlah soal finansial. Namun lebih pada kesiapan dalam aspek pengetahuan dan kesiapan mental.
Bila nanti anak menjadi orang yang biasa-biasa atau malah "luar biasa", mungkin kitalah yang harus bercermin. Jangan-jangan kita investor yang gagal! Jangan-jangan kita asal klaim saja, diiringi pelabelan investasi masa depan, dunia akhirat, atau apapun namanya.
Zalim melabeli anak sebagai investasi, tanpa sepenuhnya memahami bahwa sebagai investor dan pengelola, justru peran orangtua paling krusial.
Pelan-pelan kita belajar bahwa sesungguhnya anak adalah anugrah luar biasa. Diberikan kepada orangtua yang luar biasa pula. Selayaknya orantua membersamai perkembangannya dengan bahagia, sebahagia tika ia lahir.
Sebagai pengingat, anak tak pernah minta untuk dilahirkan pada orangtua yang mana.
Yang ada adalah kita, para orangtua, yang memohon untuk diberi.
Ups, bukan diberi! Dititipkan!
Curup,
11.07.2020
Muksal Mina Putra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H