Rudi tersenyum kecut. Teman kuliahnya masih tak percaya.
"Serius kamu jurusan PAUD?"
Seakan-akan ia baru saja diberitahu bahwa tadi pagi dinosaurus ditemukan hidup-hidup. Aneh begitu. Padahal, apa yang salah?
Oh, saya cerita sedikit soal Rudi. Dia adalah mahasiswa semester enam. Baru akan menyusun proposal skripsi. Semuanya tentangnya adalah hal biasa. Hal yang "tak biasa" mungkin ya itu. Dia lelaki satu-satunya di jurusan PAUD di angkatan pertama.
Mengaku tak memilih jurusan yang notabene didominasi oleh perempuan itu, tahu-tahu Rudi sudah duduk sebagai mahasiswa jurusan PAUD. Ajaib, betah sampai semester enam.
Perihal jurusan PAUD, sejauh pengetahuan dan berbagi cerita dengan teman-teman di kampus lain, laki-laki memang makhluk langka. Hampir 95% mahasiswa PAUD adalah perempuan, makhluk tampan dapat dihitung dengan jari.
Kenapa sedikit?
Saya yakin, alasannya pasti merujuk pada fakta lapangan yang mana guru PAUD selalu perempuan. Nah, kenapa pula kami para lelaki kuliah PAUD?
Ehm...Memang guru PAUD kebanyakan adalah perempuan. Namun kepala sekolahnya, tak jarang adalah laki-laki. Asesor BAN PAUD banyak juga yang pria.
Coba lihat para pemikir, aktivis pendidikan anak, pendongeng, ahli parenting atau apapun yang berkaitan dengan anak. Kak Seto, Ustad Harry Santosa, Arist Merdeka Sirait, Awam Prakoso. Semuanya lelaki!Â
Para dosen PAUD, pemikir PAUD, mahasiswa pascasarjana, banyak yang laki-laki.
Lelaki dan pendidikan anak memang bukan dua kata yang akrab di negeri ini. Pendidikan anak ya jatah perempuan. Lelaki dengan anak-anak itu tidak seksi. Walau mungkin ini pandangan yang berbeda di mata perempuan.
Kenapa Lelaki?
Terusik saya oleh sebuah tanya. Kenapa dunia pendidikan, pengasuhan, parenting anak seolah-olah dijatahkan untuk perempuan saja?
Mungkin bisa jadi, dibentuk oleh pandangan umum masyarakat bahwa asuh-mengasuh adalah urusan kaum hawa. Laki-laki ya berurusan dengan hal-hal yang jantan. Cari nafkah, kerja sampai larut, banting tulang.
Pandangan umum kemudian mengerucut pada persepsi dalam memilih jurusan kuliah dan bidang kerja. Para mahasiswa lebih tertarik untuk masuk ke jurusan yang lebih umum, tak spesifik ke satu gender tertentu. Ini tak salah. Namun beranggapan bahwa lelaki tak pantas mendalami ranah pendidikan anak adalah sebenar-benarnya salah.
Anak-anak sejatinya memerlukan pengembangan fitrah seksualitas, baik laki-laki ataupun perempuan. Anak perlu ditanamkan sifat feminim dan maskulin. Keduanya tak mungkin dipenuhi sekaligus oleh salah satu lelaki ataupun perempuan.
Perempuan berperan mengembangkan sisi feminim, laki-laki mengenalkan sosok maskulin. Maka seharusnya, lelaki dalam dunia PAUD adalah kewajaran. Sebuah pemenuhan terhadap kebutuhan perkembangan fitrah anak.
Bukankah anak perlu contoh akan sosok seorang lelaki? Anak perempuan perlu melihat contoh bagaimana sosok lelaki yang baik. Anak lelaki pun perlu teladan bagaimana menjadi sosok pria idaman.
Ustad Harry Sentosa pernah menulis, anak lelaki yang kehilangan sosok maskulin dalam pengembangan fitrahnya, rentan terjebak lembah LGBT. Kurangnya penanaman sifat maskulin pada anak juga akan berakibat hilangnya peluang untuk mengembangkan sikap berani, percaya diri dan ego.
Sedangkan anak perempuan yang tumbuh tanpa peran maksimal seorang laki-laki ideal, akan mencari-cari sosok ideal itu di luar. Nah, bagaimana bila ternyata jatuh ke pelukan lelaki tak jelas?
Bayangkan, insan pria yang menguasai ilmu pendidikan anak usia dini, tentu setidaknya dapat mengedukasi para orangtua tentang pentingnya peran laki-laki dalam pengasuhan anak.
Dapatlah ia mengisi Fatherhood day misalnya, di lembaga pendidikan anak. Menjadi narasumber tentang fitrah keayahan. Bicara sesama laki-laki tentang pengasuhan. Boys Talk.
Membuka perspektif orangtua tentang peran masing-masing. Pada akhirnya membentuk pandangan masyarakat, bahwa lelaki di dunia PAUD itu hal wajar. Tak usah jadi olok-olokan. Tak usah jadi gurauan.
Jangan-jangan yang mengolok malah tak tahu apa-apa?
Wahai Rudi...
Menjadi guru PAUD tentu adalah salah satu dari sekian banyak pilihan profesi yang dapat ditekuni bermodalkan pengetahuan dan keterampilan mendidik anak.
Lelaki lulusan PAUD tak mesti menjadi guru. Saya maklum bila ada rasa segan. Tapi kan bisa jadi konsultan PAUD, assessor, peneliti, dosen, pemerhati anak, dan lain sebagainya. Banyak sekali!
Pendidikan anak perlu dikuasai pula oleh lelaki. Kalaupun tak menjadi guru PAUD, dapatlah engkau menjadi dosen PAUD, aktivis, pencipta mainan, lagu, peneliti, dan lain sebagainya. Atas nama dunia pendidikan anak.
Maka, Rudi, usah malu menjadi mahasiswa PAUD. Kau itu sosok langka. Bukankah biasanya hal yang langka mahal harganya?
Lagipula, satu hal terpenting, tak ada ayah yang tak lelaki!
Curup
25.06.2020
Muksal Mina Putra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H