Setelah ketujuh gadis itu didapati, mereka bermusyawarah lagi untuk mencari jalan keluar, agar ketujuh gadis itu sebagai penggalang tidak menjadi korban atau mati ditimpa oleh pohon yang akan dirobohkan.
Dalam musyawarah itu ditetapkan , bahwa mereka hendaklah menggali parit yang besar untuk melindungi gadis-gadis penggalang itu. Maka digalilah sembilan hasta dalamnya dan sembilan hasta lebarnya sedangkan bagian atas parit digalang pula dengan pelupuh.
Pekerjaan menggali parit dilakukan bersama-sama secara bergotong royong, dengan pembagian tugas sebagai berikut: ada yang hanya menggali parit, ada yang membuat penggalang, ada yang mencari penutup parit dan ada pula yang menyediakan makanan bagi orang-orang yang bekerja.
Setelah pekerjaan membuat parit selesai dan ketujuh gadis itu dijadikan penggalang, mulailah pohon Benuang itu ditebang dan pohon besar itu roboh tepat diatas tempat ketujuh gadis berlindung.
Dengan adanya parit, selamatlah ketujuh gadis penggalang dari maut dan Beruk Putih yang berdiam dipohon itu pun menghilang.
Menurut riwayat, sejak peristiwa itu maka mulailah keempat petulai mereka diberi nama menuruy pekerjaan anak buah pemimpin masing-masing, dalam usaha bersama dalam menebang pohon Benuang Sakti.
Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama 'TUBEI'. Asal kata Rejang 'berubeui-ubeui' berarti berduyun-duyun. Berpusat di Pelabai Lebong
Petulai Biku Bermano diberi nama 'BERMANI'. Asal kata Rejang 'beram manis' berarti tapai manis. Berpusat di Kutei Rukam, Tes sekarang.
Petulai Biku Bembo diberi nama 'JURUKALANG'. Asal kata Rejang 'kalang' berarti galang. Berada di Sukanegeri, Tapus.
Petulai Biku Bejenggo diberi nama 'SELUPUEI'. Asal kata Rejang 'berupeui-upeui' berarti bertumpuk-tumpuk. Berada di Batu Lebar dekat Anggung Rejang di Kesambe.
Maka sejak itu pula Renah Sekalawi berubah nama menjadi LEBONG dan terciptalah istilah REJANG EMPAT PETULAI yang menjadi inisiasi kesatuan dari suku Rejang.