Asal muasà l nama-nama kesatuan orang Rejang menurut riwayat (cerita) para tetua suku bangsa Rejang.
Pada suatu masa diera pemerintahan Empat Biku terjadilah suatu peristiwa malapetaka yang hebat melanda di daerah tanah Rejang.Bencana yang mengakibatkan rakyat berjatuhan karena sebuah penyakit hingga menyebabkan sebuah kematian.
Segala upaya telah dilaksanakan untuk menangkis bencana, namun semuanya berakhir dalam kegagalan. Sampailah pada bantuan ahli nujum tuk melihat ada apa dengan bencana yang sedang melanda ini.
Menurut mata batinnya (ramalan), yang menyebabkan bencana yang sedang melanda ini adalah karena seekor Beruk Putih yang berdiam diatas sebuah pohon besar yang bernama Benuang Sakti.
Apabila beruk itu berbunyi, kemana arahnya menghadap, maka negeri-nwgeri itu akan tertimpa bencana seperti yang telah mereka alami.
Atas pemukafatan keempat Biku dari empat petulai dalam suku Rejang, memutuskan bersama-sama tuk mencari sampai dapat si pohon besar 'Benuang Sakti 'untuk ditebang.
Namun usaha mencari pohon Benuang tidaklah semudah yang dibayangkan. Meskipun dilakukan bersama-sama dengan arah yang bebeda sesuai arah mata angin, dipimpin petulai masing-masing.
Jadi ada yang menuju arah timur, barat, selatan, dan ada pula yang keutara. Hasilnya adalah yang pertama-tama menemukan pohon dicari itu adalah Biku Bermano.
Mereka segera mulai menebang pohon, namun bagaimanapun kuatnya mereka berusaha menebang pohon tersebut, pohon itu tidak juga roboh, semakin pohon dikapak semakin bertambah besar.
Ditengah dalam kondisi yang 'capek' muncullah anak buah dari Biku Sepanjang Jiwo, sambil berkata dalam bahasa Rejang;
 "bie pu-ies keme beu-beu-ubeui mesoa, uyo maki betemau." "Artinya, telah puas kami berduyun-duyun bersama mencari , sekarang baru menemukannya."
Maka dikerahkanlah tenaga baru, bersama-sama berusaha merebahkan pohon Benuang, tetapi jerih payah mereka juga tidak berhasil.
Kemudian muncul pula anak buah pimpinan Biku Bejenggo dan mereka juga turut membantu menebang, tetapi pohon tidak juga roboh. Justru semakin berkurang daging (kulit), sebaliknya pohonnya tumbuh semakin besar.
Maka berkatalah anak buah Biku Bermano dalam bahasa Rejang;
"Keme yo kerjo cigai ade manai neigai, anak bua Bikau Sepanjang Jiwo bi beubeui-ubeui kulo, anak bua Bikau Bejenggo bigu-peak kulo kerjo tapi ati kune kiyeu yo lok uboak, berang kalaie anak bua Bikau Bembo alang neigai mako si lok uboik kiyeu yo." "Artinya, kami telah bekerja hingga tiada berdaya lagi, anak buah Biku Sepanjang Jiwo telah bersama-sama pula bekerja dan anak buah Biku Bejenggo pun turut bersama-sama bekerja, tetapi pohon ini tidak juga rebah, barangkali anak buah Biku Bembo yang menjadi penghalangnya."
Kebetulan pada waktu itu muncul anak buah pimpinan Biku Bembo dan karena kegirangan bukan saja karena menemukan pohon yang dicari, tetapi juga orang-orang dari ketiga petulai telah berkumpul disitu.
Maka terlontarlah dalam bahasa Rejang, "pio bah kumu telebong, yang berarti disini kiranya saudara-saudara berkumpul." Dan sejak peristiwa itu bersejarah ini, berkata riwayat, wilayah Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong.
Kepada Biku Bembo dan anak buah diceritakanlah olen Biku Bermano segala usaha mereka bertiga dalam menebang pohon Benuang Sakti yang tidak mau roboh-roboh.
Maka mereka bermusyawarah mengenai peristiwa aneh ini dan sebagai hasil dari musyawarah itu ialah; mereka bertarak (bertapa) meminta dari Sang Hiang, bagaimana cara menebang pohon itu supaya bisa roboh.
Hasil bertarak yang mereka lakukan itu ialah, bahwa pohon otu menurut Sang Hiang akan rebah, kalau dibawahnya digalang oleh tujuh gadis muda remaja.
Oleh karena itu anak buah pimpinan Biku Bembo karena tiba terakhir dan belum pula turut bekerja, maka ditugaskanlah kepada mereka untuk mencari tujuh orang gadis, yang dikehendaki sebagai penggalang.
Setelah ketujuh gadis itu didapati, mereka bermusyawarah lagi untuk mencari jalan keluar, agar ketujuh gadis itu sebagai penggalang tidak menjadi korban atau mati ditimpa oleh pohon yang akan dirobohkan.
Dalam musyawarah itu ditetapkan , bahwa mereka hendaklah menggali parit yang besar untuk melindungi gadis-gadis penggalang itu. Maka digalilah sembilan hasta dalamnya dan sembilan hasta lebarnya sedangkan bagian atas parit digalang pula dengan pelupuh.
Pekerjaan menggali parit dilakukan bersama-sama secara bergotong royong, dengan pembagian tugas sebagai berikut: ada yang hanya menggali parit, ada yang membuat penggalang, ada yang mencari penutup parit dan ada pula yang menyediakan makanan bagi orang-orang yang bekerja.
Setelah pekerjaan membuat parit selesai dan ketujuh gadis itu dijadikan penggalang, mulailah pohon Benuang itu ditebang dan pohon besar itu roboh tepat diatas tempat ketujuh gadis berlindung.
Dengan adanya parit, selamatlah ketujuh gadis penggalang dari maut dan Beruk Putih yang berdiam dipohon itu pun menghilang.
Menurut riwayat, sejak peristiwa itu maka mulailah keempat petulai mereka diberi nama menuruy pekerjaan anak buah pemimpin masing-masing, dalam usaha bersama dalam menebang pohon Benuang Sakti.
Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama 'TUBEI'. Asal kata Rejang 'berubeui-ubeui' berarti berduyun-duyun. Berpusat di Pelabai Lebong
Petulai Biku Bermano diberi nama 'BERMANI'. Asal kata Rejang 'beram manis' berarti tapai manis. Berpusat di Kutei Rukam, Tes sekarang.
Petulai Biku Bembo diberi nama 'JURUKALANG'. Asal kata Rejang 'kalang' berarti galang. Berada di Sukanegeri, Tapus.
Petulai Biku Bejenggo diberi nama 'SELUPUEI'. Asal kata Rejang 'berupeui-upeui' berarti bertumpuk-tumpuk. Berada di Batu Lebar dekat Anggung Rejang di Kesambe.
Maka sejak itu pula Renah Sekalawi berubah nama menjadi LEBONG dan terciptalah istilah REJANG EMPAT PETULAI yang menjadi inisiasi kesatuan dari suku Rejang.
SALAM
Sumber Referensi: Tetua adat kampung dan buku berjuduk Hukum Adat Rejang Karya Profesor. Dr. Abdullah Sidik terbitan PN BALAI Pustaka Jakarta 1980.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H