Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tingginya Tingkat Penyalahgunaan Anggaran Dana Desa, Siapakah yang Salah?

26 September 2021   19:08 Diperbarui: 28 September 2021   07:21 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dana Desa | Sumber: Shutterstock/pramata via money.kompas.com

Seputar Fakta Lapangan Anggaran Dana Desa, Siapakah yang Mesti Disalahkan?

Tingginya tingkat penyalahgunaan anggaran dana desa di berbagai daerah versi survey Indonesia Corruption Watch (ICW) dapat disimak di berbagai berita di media online yang kerap mengulas berita seputar anggaran desa yang maraknya disalahgunakan. 

Penyelewengan kewenangan yang berujung pada permasalahan hukum, yakni tindakan 'korupsi' di jajaran pemerintahan desa. Salah olah, salah urus, dan salah sasaran berakibat pada tindakan korupsi. 

Penyalahgunaan anggaran yang cukup besar yang dikucurkan dari pemerintahan pusat. Realisasi programnawacita presiden Jokowi pemerataan pembangunan dimulai dari daerah tertinggal/pinggiran (desa).

Namun fakta lapangan berkata lain, program yang mesti diapresiasi akan keseriusan pemerintah pada tataran pelaksanaan di lapangan justru terjadi penyimpangan anggaran oleh beberapa pihak.

Hal ini membuka mata kita semua, "Siapakah yang musti disalahkan, bertanggung jawab atas tindakan penyalahgunaan kewenangan? Perlukah evaluasi merubah mekanisme anggaran, menghapus atau menganti dengan progam baru yang lebih produktif demi kemajuan bersama?"

Baca juga: Satu Desa Minimal Ada Satu Pengusaha

Sebagai ujung tombak, kepala desa dan perangkatnya yang berada dalam pemerintah desa atau berhubungan dengan keterkaitan, beberapa stake holder yang berada di daerah juga berperan aktif mengiring proses dalam hal pengawasan.

Secara administratif, prosedur dan mekanisme pengolahan anggaran tidak terlepas dari proses tersebut yang melibatkan berbagai unsur 'unit' lembaga formal pemerintahan daerah.

Artinya peran andil bukan hanya kepala desa dan perangkat desa saja yang terlibat, tapi semua yang berkaitan juga mesti dipertanyakan dalam hal ini.

Adapun tahapan proses pengelolahan anggaran dana desa sepengetahuan penulis, proses pengajuan anggaran sampai dengan tahapan akhir, laporan pertanggung jawaban akhir tahun.

1. Pihak kecamatan
Verifikasi pengajuan anggaran desa tidak terlepas verifikasi dari kecamatan yang mana cross check sebelum ke Instansi PMD. 

2. Instansi PMD
Tindak lanjut verifikasi kecamatan ditindaklanjuti cross check di PMD. Jika tidak ditemukan kekurangan secara administratif dan sebagainya, barulah dilanjutkan ke bagian keuangan daerah untuk diproses dalam hal transfer ke rekening kas desa.

3. Pendamping desa
Peran aktif pendamping desa merupakan urgen dalam hal ini. Sebagai patner kerja perangkat desa untuk mendampingi pengolahan anggaran sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Tempat bertanya serta membantu mendampingi desa untuk lebih optimal menyerap anggaran desa sesuai dengan tujuan program pemerintah. Agar tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran tepat seperti yang dicanangkan pemerintah.

Berangkat dari musyawarah dusun (musdus), musyawarah desa (musdes) dan musyawarah rencana pembangunan (musrembang) dasar pembuatan Apbdes, RPJM desa, dan rencana kegiatan desa (RKP).

Baca juga: Saatnya ADD Beralih dari Fisik ke Non Fisik

Begitupun dalam hal pengawasan, selain keterkaitan administratif di atas. Setiap setahun sekali akan ada pemeriksaan akhir tahun dari inspektorat daerah untuk memeriksa laporan penggunaan anggaran serta cross check lapangan. Bila ditemukan ganjalan, maka akan ditindak lanjuti melalui surat laporan hasil pemeriksaan (LHP).

Artinya dalam konteks ini, dari tahapan-tahapan penggunaan anggaran dana desa, mata rantai serta keterlibatan berbagai unsur baik proses administratif dan controling anggaran desa semua terlibat. 

Menyalahkan desa sebagai ujung tombak persoalan anggaran dana desa mesti jadi analisa untuk bahan evaluasi selanjutnya, berkenan akan penyelewengan yang terjadi yang menjadi persoalan serius dalam mengelolah uang negara tersebut.

Satu kasus opname proyek pembangunan fisik desa misalnya yang dilakukan setiap selesai pembangunan. Pemeriksaan dihadiri secara bersama dari kecamatan, babinsa, babinkamtibnas, polsek, awak media, BPD desa dan pendamping desa. 

Meninjau ulang tingkat ketuntasan pembangunan telah ditandatangani melalui berita acara, serah terima kelayakan akan pembangunan bahwa pemeriksaan dan pengukuran bisa diterima atau tidak.

Hal ini sama dengan audit inspektorat daerah yang dilakukan setiap setahun sekali juga melakukan pemeriksaan akan anggaran desa meskipun telah opname.

Menjadi kebingungan yang penulis ingin kritisi ketika hasil opname, audit inspektorat bahkan BPKP daerah, desa dianggap berhasil menggunakan anggaran. 

Namun suatu waktu ketika ada temuan berikutnya, pemeriksaan kembali dilakukan saat hasil telah diterima pada tahun sebelumnya. Diungkit kembali menjadi kasus baru terus bersambung dan berkelanjutan.

Lalu apa guna hasil dari pemeriksaan selama ini, jika masih ada temuan dan temuan? Kades yang akan jadi korban, ada apa dengan sistem ini?

Kasus lain, usia data aset yakni ketangguhan bangunan fisik yang mesti berusia lima bahkan harus sepuluh tahun. Jika rentang bangunan tidak singkron maka akan ada temuan lagi, kades akan diperiksa kembali.

Kan bangunan yang dibuat untuk masyarakat harapannya dapat digunakan, jika kemudian hari terjadi kerusakan, merupakan kewajaran karena memang dimanfaatkan oleh masyarakat, jalan desa misalnya tempat lalu lalang para petani membawa hasil bumi, rusak sangat wajar kan.

Fakta lain, bermunculan LSM dan awak media menjadikan desa sebagai lumbung premanisme berkedok jurnalistik. 

Dengan memeras desa dengan pemberitaan seputar anggaran jika tidak mengikuti kehendak oknum tertentu.

Di sisi lain timbul rasa kecemburuan berbagai instansi lembaga formal didaerah. Jika dibayangkan anggaran 1 milyar per desa lebih besar dari anggaran belanja instansi formal. Lebih besar uang desa ketimbang anggaran instansi mereka.

Anggaran dana dalam kacamata penulis seperti gula, di mana ada gula di sana ada semut. Desa menjadi ladang perburuan segelintir orang bermain kepentingan, terlepas tip and trik para pemainnya, entahlah. 

Politisasi anggaran, mafia korporasi anggaran jelas terjadi. Kades adalah korban karena secara strata dan kewenangan bisa dimainkan. Sekuat apapun idealisme kades apabila sistem pemerintah dalam tanda kutip lebih berpengaruh, lambat laun berpengaruh jika tidak anggaran sukar dicairkan. Hak orang di dalam anggaran jadi terbengkalai, kades kembali menjadi sasaran kesalahan.

Tiga Hal yang Mesti Diingat dalam Mengelola Anggaran Dana Desa Supaya Tidak terjerat dengan Hukum

  1. Tidak lari dari rancangan yang ada dalam program yang tercantum dalam APBdes. Bangunan fisik sesuai RAB, belanja kegiatan desa tidak bersifat fiktif, dan ada bentuk yaitu barang bukti yang terasip.
  2. Bayar Pajak. Peruntukan anggaran dana desa dengan nominal yang besar, sudah barang tentu memiliki pajak yang harus disetor kepada negara baik pajak pusat (PPN dan PPH) maupun pajak daerah.
  3. Surat Pertanggung jawaban. Nota belanja dan barang yang telah dibelanjakan terdokumen. Khusus dalam proyek banguna, bangunan fisiknya harus benar-benar ada bentuknya.

Catatan dari penulis ialah anggaran dana desa yang besar manfaat ini. Secara sudut pandang penulis yang subyektif, melihat fakta terjadi sekarang di tempat penulis maupun dari berita daerah lain. Yang berhasil melaksanakan program banyak, namun yang gagal pun tak kalah banyak.

Fenoma korupsi yang seakan menjadi PR besar pemerintah pusat tuk melihat sisi ini jangan sampai tujuan mulia pemerintah tidak sejalan dengan semangat nawacita presiden justru menimbulkan virus korupsi semakin menjadi-jadi karena sebuah program. 

Hal senada dengan program lain, sebut saja PKH misalnya. Jika tidak tepat peruntukan bisa kabur makna tujuan pemerintah. Yakni memunculkan bibit etos ' malas' bekerja bagi penerima manfaat, karena ada bantuan pemerintah. 

Disalah manfaatkan kepada hal bersifat konsumtif dan sebagainya yang non produktif.

Baca juga: BLT dan Mentalitas Bangsa Kita

Tulisan bukan antipati akan program pemerintah namun lebih baik dicarikan alternatif baru yang bersifat membangun demi kemajuan bangsa kita Indonesia. Semoga.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun