Meninjau ulang tingkat ketuntasan pembangunan telah ditandatangani melalui berita acara, serah terima kelayakan akan pembangunan bahwa pemeriksaan dan pengukuran bisa diterima atau tidak.
Hal ini sama dengan audit inspektorat daerah yang dilakukan setiap setahun sekali juga melakukan pemeriksaan akan anggaran desa meskipun telah opname.
Menjadi kebingungan yang penulis ingin kritisi ketika hasil opname, audit inspektorat bahkan BPKP daerah, desa dianggap berhasil menggunakan anggaran.Â
Namun suatu waktu ketika ada temuan berikutnya, pemeriksaan kembali dilakukan saat hasil telah diterima pada tahun sebelumnya. Diungkit kembali menjadi kasus baru terus bersambung dan berkelanjutan.
Lalu apa guna hasil dari pemeriksaan selama ini, jika masih ada temuan dan temuan? Kades yang akan jadi korban, ada apa dengan sistem ini?
Kasus lain, usia data aset yakni ketangguhan bangunan fisik yang mesti berusia lima bahkan harus sepuluh tahun. Jika rentang bangunan tidak singkron maka akan ada temuan lagi, kades akan diperiksa kembali.
Kan bangunan yang dibuat untuk masyarakat harapannya dapat digunakan, jika kemudian hari terjadi kerusakan, merupakan kewajaran karena memang dimanfaatkan oleh masyarakat, jalan desa misalnya tempat lalu lalang para petani membawa hasil bumi, rusak sangat wajar kan.
Fakta lain, bermunculan LSM dan awak media menjadikan desa sebagai lumbung premanisme berkedok jurnalistik.Â
Dengan memeras desa dengan pemberitaan seputar anggaran jika tidak mengikuti kehendak oknum tertentu.
Di sisi lain timbul rasa kecemburuan berbagai instansi lembaga formal didaerah. Jika dibayangkan anggaran 1 milyar per desa lebih besar dari anggaran belanja instansi formal. Lebih besar uang desa ketimbang anggaran instansi mereka.
Anggaran dana dalam kacamata penulis seperti gula, di mana ada gula di sana ada semut. Desa menjadi ladang perburuan segelintir orang bermain kepentingan, terlepas tip and trik para pemainnya, entahlah.Â