Alergi Politik, dicaci Tapi dicari? Dan Politik Itu Mesti!
Hingar bingar seputar isu politik nasional yang selalu saja menggugah rasa untuk selalu disimak. Hits and hot sebagai topik utama media massa untuk diketahui oleh publik.
Sejauh mana komitmen dari mereka mewujudkan sebuah subtansi  utama dari kebijakan pemerintah. Muara tuju yang dicanangkan atas nama bangsa ini.
Perkembangan yang begitu dinamis dan aktraktifnya sepak terjang para elit nasional yang bersifat magnetis tidak bisa untuk tidak dilewatkan. Rasa haus akan ingin tahu kita semua.
Pemerintah dalam hal merupakan titik fokus sorotan sebagai pelaksana/pelaku yang menjalankan roda pemerintahan, dipahami sebagai bagian politik itu sendiri.
Panggungnya politik yakni pemerintah adalah domain utama mestinya dikupas secara bebas pantas. Tuk dipahami dan dimengerti secara transparan bahwa indeks ketercapaian relevan pada standar harapan semua rakyat.
Tolak ukur perlunya kesepahaman menilai politik itu mesti dalam arti kata memaknai politik dan pemerintah bak jiwa dan raga yang tidak mungkin dapat dipisahkan satu sama lain. Yakni politik itu sebuah keharusan di setiap bangsa dan bernegara.
Karena berbicara politik secara jelas pasti berbicara pada pemerintahan. Pernyataan anti politik mengibaratkan antipemerintah. Alergi berburuk sangka akan politik itu dusta/kejam/kotor, berarti misspersepsi hakikat politik, politik adalah sebiah cara menurutku.
Kesalahpahaman memahami politik itu sendiri, ya tak mungkin pemerintah tanpa  adanya politik. bagaikan raga tak berjiwa, sebaliknya politik tanpa pemerintah apa jadinya?Â
Baik buruknya politik erat terjadi si pemeran politik, sebagai pelaku yakni elit-elit politikus itu sendiri.
Untuk itu dari gambaran wejangan receh tentang politik ini. Menanggapi sebagian orang yang sangat anti kata politik, alergi bicara tentang politik, musti diresapi barangkali kita ada dalam lingkaran politik itu sendiri.
Atau jangan jangan secara tidak disadari adalah sebagai pelakunya! Meskipun ruanglingkup yang dijalani bukan puncak tertinggi politik tanah air sebagai pemerintah. Â Seperti skala kecil di lingkungan tempat tinggal kita selalu bau politik.
Dalam hal ini sebagai rujukan pemaknaan akan politik versi awamologi ku. Politik tak ubah seperti drama perfilman yang sering kita tonton. Aktor yang terkadang kita hujat, tapi masih tetap ditonton disertai tepuk sorak sorai kita layangkan.Â
Ending film yang menakjubkan atau justru berujung kekesalan? Adalah konsekuensi dalam Menilai dan merasakan film begitupun pada politik.
Politik itu Bak Drama Film
Panggung politik drama nyata dilakoni para aktor kawakan yang sangat tidak diragukan lagi soal akting yang dimainkan, jago pada seni peran, mahir pada seni rupa, lihai dalam tuturkata maupun sapa, dan pandai membaca suasana.
Peran Antagonis atau protagonis merupakan keterampilan terdidik dan terlatih bagi pemain sekelas mereka. Bisa menjadi aktor dalam dua peran sekaligus sesuai tema dan irama pada skenario perfilman.
Atau menyesuaikan jalan cerita dari sang penata alur yakni sutradara, serta sponsor sebagai produser menuntut mengapa film harus menarik, memikat seribu bahkan sejuta mata ganda untuk terpukau akan suguhan yang akan ditampilkan, apik tanpa rekayasa dari buah karya sang editor.
Berbicara drama yakni pertunjukan sebuah film pun musim-musiman, menyesuaikan selera pangsa. Bergenre horor, adventure, action, komedi, romantic yang justru punya daya minat menurut trend berkembang.
Politik tidak beda dengan kilasan cerita film menurutku. Mungkin perbedaan mendasar antara film dan politik justru pada sisi akhir cerita, film happy ending sedangkan politik tidak jelas akan bagaimana ceritanya akan berakhir.
Drama film di ujung ceritanya, selalu berbahagia diakhir, aktor utama selalu menang atas musuh/lawan. Namun lain cerita dalam politik, tidak bisa ditentukan akhir ceritanya. Terlalu mistis/ misterius untuk diterka, hanya ramalan bersifat kemungkinan semata. Dan tidak diketahui siapa aktor yang baik atau buruk dalam politik.
Penutup. Politik itu penting dan harus, alergi politik menyalahi politik jelas kesalahan pemahaman dalam memaknai politik. Kesalahan ada pada dipelaku yang berpolitik.
Terjebak pada dinamika politik berujung perseteruan antar sesama karena tertipu pada pernyataan polarisasi berbau SARA, ribut sesama anak bangsa. Dan terpecah dari perbedaan pilihan, miris.
Menjadi kuda troya politik tanpa melihat sisi kepentingan yang mereka lakukan, politik hanya tuk kekuasan atas nama kepentingan belaka atau atas nama bangsa. Piye toh pada mlek politik?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H