Humanisme yang benar itulah yang perlu kita bumikan kepada setiap orang. Sekafir, sesesat, ataupun seiblis apapun seseorang tetaplah kita anggap ia sebagai manusia. Sebaik, sepintar, sesoleh apapun seseorang tetaplah ia manusia. Apabila demikian, justru kita yang akan hilang kemanusiaannya. Kita menjadi malaikat atau Tuhan yang selalu benar kemudian menyesat-sesatkan orang lain. Atau kita menjadi setan yang hina ketika berhadapan dengan manusia lain yang kita posisikan bersih bening seperti tanpa kaca.
Kemudian apa hubungan tulisan ini dengan "kudu jadi jelema?" yang merupakan filosofis sunda seperti dikatakan dibagian paling atas? Nanti akan saya lanjutkan judul ini dengan KUDU JADI JELEMA DUA. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk membaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H