Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kudu Jadi Jelema (Tulisan Tahun 2020)

13 Januari 2024   01:22 Diperbarui: 13 Januari 2024   01:32 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Panan aing the jelema", begitulah suara hati sepi ini ketika mendengar nasihat kolot yang "saeutik tapi matil" eh patri. Falsafah ketimuran yang sering dicirikan dengan kejayaan masa lalu. Dimana biasanya dalam budaya Sunda sering disampaikan dengan ceuk kolot baheula oge (kata orangtua dulu juga). Terkesan kuno, mistis, (karena siapa yang bicaranya, hehe), keramat (mungkin dari Bahasa arab yang artinya mulia, dan .... pokonya jadul deh.

Namun demikian, ke-jelmaan ini ternyata diantara unsur modernitas yang juga menjadi bahan bakar alami dalam menghadapi otoritas gereja dalam sejarah dunia. Renaisance di Italia pada abad ke 15 menjadi garis sejarah ke-jelmaan tumbuh di barat. Manusia dengan segala dorongan kejelmaannya mendobrak, mengobrak-abrik otoritas gereja yang membuat eropa mengalami dark age alias masa lalu suram. Renaisance Barat merupakan percikan listrik pada menara mercusuar yang terus mengalami renovasi hingga sekarang yang katanya zaman post-modern.

Kejelmaan, kemanusiaan atau sekarang dikenal humanisme merupakan suatu pemikiran yang hendak menjadikan manusia itu benar-benar manusia. Sehingga dalam humanisme manusia menjadi subjek yang mengatur alam semesta, bukan justru menjadi hamba yang serba terbatas dan dibatasi oleh otoritas agama, bangsawan, dan penguasa politik.

Humanisme inilah yang menjadikan orang Eropa dikala itu merdeka dari pembatasan-pembatasan yang mengatas namakan Tuhan dengan tafsir tunggal kitab sucinya.  Humanisme dengan kritiknya inilah yang menjadikan manusia luar biasa. Dimana biasanya manusia itu harus taat, patuh kepada para ustadz-ustadz gereja yang banyak melahirkan bidah.

Sebagai contoh, untuk melakukan penemuan bentuk bumi bulat seperti sekarang bukanlah suatu hal yang mudah. Orang-orang dipaksa untuk percaya bahwa bentuk bumi itu datar. Apabila tidak percaya maka ia dianggap sesat. Serta teori bumi bulat dianggap bid'ah. Sungguh tidak ilmiah dan kaku.

Justru merekalah yang menjadi pabrik dari bid'ah-bid'ah yang ada. Dengan tafsir tunggal serta otoritas gereja ditangan para abdi dalem Tuhan. Segala ucap menjadi sabda, bahkan firman Tuhan. Lahirlah bid'ah yang sebagaimana tidak asing lagi seperti surat pengampunan.

Kembali kepada humanisme yang tengah kita bahas ide-ide yang terkandung didalamnya. Humanisme mengajarkan bahwa fitrah dari manusia itu baik. Sehingga cukuplah membiarkan dorongan-dorongan pada manusia itu mengalir untuk membentuk manusia yang manusia. Bukan manusia yang daya berpikirnya dibatasi sehingga manusia kehilangan kemanusiaannnya dan sama saja dengan hewan.

Dari paragraf diatas dapat dirumuskan bahwa bagi humanisme manusia itu sama dengan hewan. Hanya saja ada satu pembeda yaitu daya nalar yang sadar. Apabila daya nalar hilang atau ada yang membatasi maka manusia tidak menjadi manusia. Sama saja dengan hewan.

Selain perjuangan untuk menjadi manusia sempurna, seorang humanis juga harus menganggap orang lain sebagai manusia juga. Bukan berarti ketika kita bisa menjadi manusia yang merdeka dalam segala aspek. Kita kemudian menjadi penjajah bagi manusia yang lain.

Baca juga: Munajat Kematian

Humanisme hanya akan melahirkan penjajah baru dari kemerdekaan diri dari penjajah apabila demikian. Humanisme yang benar ialah humanisme yang peduli terhadap manusia yang lain tanpa memandang identitas-identitas tertentu yang berbeda maupun sama dari mereka.

Humanisme yang benar itulah yang perlu kita bumikan kepada setiap orang. Sekafir, sesesat, ataupun seiblis apapun seseorang tetaplah kita anggap ia sebagai manusia. Sebaik, sepintar, sesoleh apapun seseorang tetaplah ia manusia. Apabila demikian, justru kita yang akan hilang kemanusiaannya. Kita menjadi malaikat atau Tuhan yang selalu benar kemudian menyesat-sesatkan orang lain. Atau kita menjadi setan yang hina ketika berhadapan dengan manusia lain yang kita posisikan bersih bening seperti tanpa kaca.

Kemudian apa hubungan tulisan ini dengan "kudu jadi jelema?" yang merupakan filosofis sunda seperti dikatakan dibagian paling atas? Nanti akan saya lanjutkan judul ini dengan KUDU JADI JELEMA DUA. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun