Mohon tunggu...
Mukhlis
Mukhlis Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Penulis Buku: Teknik Penulisan Puisi, Teori, Aplikasi dan Pendekatan , Sastra, Pendidikan dan Budaya dalam Esai, Antologi Puisi: Lukisan Retak, Kupinjam Resahmu, dan Kutitip Rinridu Lewat Angin. Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Owner Sastrapuna.Com . Saat ini Bertugas sebagai Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Sastra Melayu Klasik: Konsep, Ciri-ciri, dan Jenis

8 Maret 2024   16:11 Diperbarui: 8 Maret 2024   16:13 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.

Secara etimologis, kata kesusasteraan berasal dari kata dasar susastra. su berarti baik, dan sastra, yang berasal dari bahasa Sansekerta: castra berarti bahasa. Semula kesusasteraan secara sempit diartikan sebagai tulisan atau karangan yang indah bahasanya.

Dalam perkembangannya, kesusasteraan diartikan sebagai hasil ciptaan (ekspresi jiwa) manusia yang dilahirkan dengan bahasa, baik secara tulisan maupun secara lisan, yang dapat menimbulkan rasa keindahan.
Sampai saat ini, pemberian pengertian terhadap kata sastra masih terus berlangsung. Jika kita baca, antara pakar yang satu dengan yang lainnya telah memberi batasan pengertian sesuai dengan perspektif masing-masing.

Fajri (1986: 735) yaitu bahasa yang dipakai dalam tulisan, karya tulis yang memiliki nilai sastra. Hal ini berarti, sastra memang menyiratkan hal yang baik atau hal yang indah, aspek kebaikan atau keindahan tersebut tentu saja akan sempurna jika memuat masalah kebenaran.

Kebenaran dalam sastra hendaknya dikaitkan dengan nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarangnya. Nilai-nilai inilah yang mampu membawa pembaca menikmati suatu hasil karya sastra sebagai sesuatu yang baik dan indah.

Dalam masa perkembangannya di tengah eraglobalisasi, sastra memiliki multi fungsi. Sastra tidak hanya berperan sebagai teman dikala suntuk saja, tetapi keberadaannya harus memberi arti lebih. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Alwi (2002:235) bahwa dalam eraglobalisasi sastra mendorong dan menumbuhkan nilai-nilai positif bagi manusia, nilai-nilai positif yang dimaksudkan yaitu suka menolong, beriman, berbuat baik, dan sebagainya. 

Selanjutnya, sastra berperan sebagai pemberi pesan kepada manusia, terutama kepada pemimpin, agar menjadi pemimpin yang diharapkan masyarakat. Peran sastra yang lain di tengan eraglobalisasi yaitu mengajak orang untuk bekerja keras serta merangsang munculnya watak-watak pribadi yang tangguh dan kuat menghadapi terpaan zaman.

 Uraian di atas  menunjukkan bahwa karya sastra apapun bentuknya, baik puisi, prosa, dan drama, pada dasarnya merupakan rekaman peristiwa alam yang diabadikan oleh pengarang dalam sebuah tulisan.  

Keberadaannya memiliki segi kebaikan dan keindahan yang berupa muatan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (pembaca), Sastra mendorong orang untuk memiliki moral yang baik dan luhur  dalam menjaga  kelestarian nilai-nilai dalam masyarakat.

Tugas seorang pengarang adalah  menyusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan karya yang menarik beserta manfaatnya. Berdasarkan kebermanfaatan sebuah karya sastra, Sumardjo (1991:9) mengatakan bahwa membaca karya sastra juga menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya (cultured man).


Sesuai dengan uraian di atas mengenai keberadaan dan kebermanfaatan sebuah karya sastra, maka manusia tidak mungkin terpisahkan dari karya sastra. Melalui suatu hasil karyalah manusia belajar dan menjadi individu yang berbudaya dan sebaliknya, dari rekaman kehidupan manusia pula, suatu karya besar lahir. Jadi, karya sastra dan manusia ibarat anggota tubuh yang harus lengkap untuk mencapai suatu kesempurnaan yaitu cipta, karya, dan budaya.

Pengertian Sastra Melayu Klasik

Belum pernah ada satu referensi pun yang mengemukakan kapan munculnya sastra melayu klasik. Namun, banyak ahli  sepakat mengatakan bahwa karya sastra melayu klasik muncul bersamaan dengan dimulainya peradaban Indonesia, dan berakhir sastra melayu klasik pada masa kebangkitan nasional, yaitu pada tahun 1908.

Usman (1957:9) mengemukakan bahwa ”Kesusastraan yang dihasilkan sebelum Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dikatakan kesusastraan lama. Permulaan kesusastraan melayu lama kira-kira sekitar tahun 1500, setelah agama Islam masuk ke Indonesia sampai awal abad ke XIX.”  

 Ciri-Ciri Sastra Melayu Klasik

Mengamati keberadaan sastra melayu klasik yang lahir sebelum dipengaruhi dengan sastra barat, maka sastra melayu klasik atau lebih dikenal dengan sastra kuno memiliki beberapa ciri.

Selanjutnya, Santoso (2008:11) menjelaskan ciri-ciri sastra melayu klasik, yaitu ”1) bersifat komunal, yaitu menjadi milik bersama, 2) anonim, yaitu tidak diketahui pengarang atau penggubahnya, 3) bersifat dinamis, yaitu gerak perubahan sangat lambat, sehingga jika dilihat dari sudut masyarakat seolah-olah statis, 4) pada umumnya bersifat irasional, yaitu kejadian-kejadian yang digambarkan kurang atau bahkan tidak masuk akal, 5) bersifat istana sentris, yaitu sebagian ceritanya berkisar pada kehidupan keluarga dan lingkungan istana, 6) bersifat didaktis moral maupun religius, yaitu sastra klasik memberikan pengajaran atau pendidikan agama maupun moral, 7) bersifat simbolis, sebagian ceritanya disajikan dalam bentuk perlambangan, 8) bersifat tradisional, yaitu ceritanya mempertahankan suatu kebiasaan yang berlaku sesuai dengan keadaan zamannya, 9) klise imitatif, yaitu kebiasaan meniru yang tetap turun temurun, 10) ditulis dengan huruf jawi (Arab-Melayu).”

Pada masa kesusasteraan lama, tukang cerita atau tukang pantun dinamakan pawang, yang sekaligus merupakan orang yang paling berjasa dalam penyebaran sastra Indonesia lama. Paling dikenal sebagai orang yang mempunyai keahlian yang erat hubungannya dengan hal-hal yang gaib. Ia termasuk orang yang keramat dan dapat berhubungan dengan paradewa dan makhluk halus.

Jenis-Jenis Sastra Melayu Klasik

Sastra melayu klasik di Indonesia ada yang berbentuk puisi lama dan prosa lama, di bawah ini penulis uraikan kedua jenis sastra melayu klasik tersebut.

Puisi Lama

Mencermati jenis-jenis puisi lama diklasifikasikan enam jenis. Keenam jenis puisi lama itu menurut Zainuddin (1992:107) adalah “1) mantra, 2) bidal, 3) pantun, 4) karmina atau pantun kilat, 5) talibun, 6) seloka.

Berdasarkan pembagian jenis-jenis puisi lama di atas, penulis jelaskan secara rinci sebagai berikut.

Mantra

Menurut Depdiknas (2007:173)  matra merupakan ”Perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib, misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya.” Mantra ini sangat menonjol dari unsur bunyi dan susunan kata-katanya.  

 Untuk lebih jelas, di bawah ini penulis kutip sebuah mantra yang dibaca saat akan menangkap atau menyiapkan umpan untuk memancing buaya dengan seekor ayam yang ditusuk dengan nibung yang diikat tali.

Hal si Jambu Rakai sambut kiriman

Putri Runduk du Gunung Ledang

Ambacang masak sebiji bulat,

Pengikat tujuh pengikat,

Pengarang tujuh pengarang

Diarak dikumbang jangan,

Lulur atau ditelah

Kalau tidak kau sambut

Dua hari, jangan ketiga

Mati mampek, mati mampai

Mata tersadai pengkalan tambang

Kalau kau sambut, ke darat kau dapat makan

Ke laut kau dapat minum

                                                (Zainuddin, 1992:107)

Berdasarkan contoh mantra di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa mantra mengandung ikatan dalam setiap barisnya, dan seolah memiliki daya magis.

Bidal 

Bidal merupakan bahasa berkias untuk mengungkapkan perasaan yang sehalus-halusnya hingga orang lain yang mendengarkan harus mendalami dan meresapi arti serta maksud dalam hatinya sendiri.

Zainuddin (1992:1080 menjelaskan bahwa bidal merupakan ucapan yang singkat yang dinyatakan dengan kata-kata kias. Bidal biasanya berisi nasihat yang bermanfaat bagi kehidupan.  

Berpijak pada uraian di atas dapat dipahami bahwa bidal merupakan salah satu bentuk puisi lama yang dinyatakan dengan kata-kata kias yang berisi nasihat, peringatan, sindiran, dan sebagainya yang terdapat dalam kehidupan.  

Pepatah

Menurut Depdiknas (2007:252) pepatah merupakan peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran dari orang tua-tua, dipakai atau diucapkan untuk mematahkan lawan bicara. Untuk lebih jelas, di bawah ini penulis tampilkan contoh pepatah.

Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga.

(Maksud pepatah di atas yaitu tabiat orang tua yang turun  ke anaknya)

Kucing lalu, tikus tiada berdecit

(Maksud pepatah di atas adalah jika orang yang ditakuti datang, semua diam)


Ungkapan 

Ungkapan merupakan kelompok kata atau gabungan kata yang memiliki makna khusus yang tidak sesuai dengan unsur-unsurnya. Menurut Zainuddin (1992:108) ungkapan mengiaskan sesuatu dengan menggunakan beberapa kata. Misalnya ringan tangan, keras kepala, kepala dingin, dan sebagainya.

Perumpamaan

Perumpamaan merupakan jenis bidal dengan maksud membandingkan. Zainuddin (1992:108) mengemukakan perumpamaan yaitu ”Kalimat yang membandingkan suatu keadaan dengan keadaan yang lainnya yang ada di alam sekitar. Biasanya didahului kata seperti, sebagai, bagai, baik, seumpama, dan sebagainya.

Contoh perumpamaan.

Seperti air dengan minyak.

(Maksudnya, orang yang tidak sepaham, tentu tidak dapat bersatu)

Jikalau pandai menggulai, badar duri tenggiri.

(Maksudnya, kalau kita pandai mengerjakan sesuatu biar bahannya kurang berharga, barang itu akan menjadi bagus dan elok dipandang)

Tamsil

Tamsil adalah Perumpamaan yang diikuti dengan kata yang menjelaskan, kadang-kadang menimbulkan atau adanya sampiran, bersajak, dan berirama.

Contoh tamsil.

Pisau senjata tiada berbisa, bisa lagi mulut manusia.

(Maksud, kata-kata yang melukai hati, lebih sakit daripada tikaman pisau)

Di mana lalang habis, di situ api padam.

(Maksudnya, mati itu tidak dapat ditentukan, jika umur sudah sampai di mana saja kita mati)

Ibarat

Depdiknas (2007:415) menyatakan bahwa ibarat perkataan atau cerita yang dipakai sebagai perumpamaan. Biasanya ibarat bermaksud memberi penjelasan. Di bawah ini penulis cantumkan beberapa contoh ibarat.

Laksana katak, sedikit hujan banyak bermain.

(Maksud, orang yang suka membesar-besarkan perkara kecil)

Umpama memerah nyiur, santan diambil, ampas dibuang.

(Maksudnya, jangan semua perkataan atau tingkah laku orang ditiru, hendaklah dipilih mana yang benar dan baik bagi kita)


Kata Arif

Zainuddin (1992:110) mengatakan bahwa kata arif adalah ucapan atau kata tiruan dari orang yang pandai dan hadis Nabi Muhammad Saw yang sekarang tidak terasa lagi sebagai hadist.

Pada umumnya, kata arif berisi nasihat, tuntunan dan kebijaksanaan. Di bawah ini penulis cantumkan beberapa contoh kata arif.

Ilmu yang tiada beramal, sama dengan pohon yang tiada berbuah.

(Maksudnya, ilmu pengetahuan sebaiknya kita amalkan atau sebarkan supaya banyak manfaatnya)

Pantun

Pantun merupakan salah satu bentuk puisi lama yang masih ada dan dibacakan sampai sekarang, terutama dalam acara-acara adat, seperti perkawinan, khitanan, dan sebagainya. Pantun merupakan pewarisan budaya yang sangat bernilai dan mampu menunjukkan ciri khas suatu bangsa.  

Untuk lebih jelas, di bawah ini penulis kutip sebuah pantun.

Buah ara batang dibantun

Mari dibantu dengan parang

Hai saudara dengarlah pantun

Pantun tidak mengata orang


Mari dibantun dengan parang

Barangan besar dalam padi

Pantun tidak mengata orang

Janganlah syak dalam hati


Barangan besar dalam padi

Rumpun buluh dibuat pagar

Jangan syak di dalam hati

Maklum pantun sya baru belajar

                                                            

Karmina atau Pantun Kilat

Menurut Depdiknas (2007:509) karmina merupakan pantun dua seuntai (pantun kilat), baris pertama sebagai sampiran dan baris kedua sebagai isi berupa sindiran, dengan rumus rima a a. Tetapi pengertian rima yang diungkapkan Depdiknas (1992:113), bahwa karmina atau pantun kilat adalah pantun yang jumlah suku katanya terdiri dari empat sampai enam suku kata.

Namun, jika melihat pada contoh karmina, walaupun definisi yang dikemukakan berbeda, tetapi penyampaiannya sama saja, hanya berbeda pemenggalan suku kata. Untuk lebih jelas, di bawah ini penulis kutip contoh karmina yang sama, tetapi berbeda bentuk atau pemenggalan suku katanya.

Contoh karmina

            Dahulu parang

            Sekarang besi

            Dahulu sayang

            Sekarang benci

Dongeng

Sama halnya dengan cerita-cerita lama lainnya, dongeng hampir hilang ditelan bumi, salah satu sebabnya adalah sekarang ini sudah jarang orang yang mendongeng dan mau mendengar dongeng. Jika dahulu dongeng merupakan sarana pengantar tidur, namun sekarang telah digantikan oleh lagu-lagu modern. Imbasnya adalah semakin jauh dan terasingnya cerita-cerita lama di masyarakat.

Dongeng menurut Setiawan (1986:9) merupakan “cerita khayal yang tidak mungkin terjadi dan ceritanya aneh-aneh“.  Hal ini senada dikemukakan Zainuddin (1992:101) dongeng adalah ”cerita yang mengungkapkan sesuatu yang bersifat khayalan semata. ”

Memperkuat pendapat di atas, Soeparlan (1952:48) menjelaskan bahwa dongeng merupakan cerita khayal atau fantasi semata-mata. Yang diceritakan dalam dongeng adalah tentang keanehan dan keajaiban sesuatu hal, umpamanya asal mula suatu negeri, asal mula suatu pulau, dan lain-lain.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun