Mohon tunggu...
Muklis Puna
Muklis Puna Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Penulis Buku: Teknik Penulisan Puisi, Teori, Aplikasi dan Pendekatan , Sastra, Pendidikan dan Budaya dalam Esai, Antologi Puisi: Lukisan Retak, Kupinjam Resahmu, dan Kutitip Rinridu Lewat Angin. Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Owner Sastrapuna.Com . Saat ini Bertugas sebagai Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengajar Sastra pada Generasi Z adalah Sebuah Tantangan dan Harapan

3 Januari 2024   20:47 Diperbarui: 5 Januari 2024   01:03 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Mukhlis,S.Pd.,M.Pd.

"Jika Ingin Anakmu Cerdas, Ajari Mereka Sastra, Saidina Ali "

Kutipan di atas sekilas tidak mengandung makna apa- apa. Hanya sebagai perintah atau arahan agar mengajarkan anak tentang sastra, itupun kalau ingin cerdas. Sederhana sekali dan bersahaja serta memunculkan sebuah kajian yang mendalam. Ada satu kata kunci dalam kutipan tersebut adalah " Sastra" 

Kata tersebut ,jika dilihat secara etimologi hanya bermakna sebuah keindahan. Misalnya, kata  Susastra, Su+ Sastra. Dalam bahasa Sansekerta Su berarti karangan, sedangkan Sastra bermakna keindahan. Jika digabungkan kedua bentuk kata tersebut, "Susastra" maka bermakna "karangan yang indah"

Lantas, bagaimana jika imbuhan Ke -an ditambah secara bersamaan pada kata tersebut menjadi " Kesusastraan"  Ini harus dipahami secara gramatikal, bahwa setiap imbuhan (afiks) yang melekat pada bentuk dasar, baik secara bersamaan ataupun bertahap, maka terdapat fungsi dan makna yang dihadirkan sesuai dengan konteks gramatikal. Imbuhan Ke- an yang diikatkan pada kata Susastra bermakna menyatakan ' Kumpulan " Jadi Kesusastraan bermakna kumpulan karangan yang indah. 

Selanjutnya, kenapa karya sastra disebut sebagai karya yang mengandung keindahan. Jawabannya karena karya sastra merupakan sebuah produk kreativitas penulis dalam menyampaikan peristiwa batiniah kepada pembaca. Setiap karya sastra selalu menjadikan batin sebagai tempat bersandar dan  berfungsi sebagai sumber imajinasi.

Jika merujuk pada proses kelahirannya, sastra merupakan ilmu tertua setelah ilmu filsafat. Maksudnya, sebelum manusia mengenal bahasa sebagai media komunikasi, mereka sudah menggunakan tulang- belulang yang dipukul- pukul  menghasilkan bunyi -bunyian yang indah. 

Kembali pada kutipan awal artikel ini tentang  perintah mengajarkan sastra kepada anak.  Muncul pertanyaan yang kritis, apa sih hebatnya karya sastra  terhadap perkembangan pola pikir anak, sehingga seperti ada kewajiban untuk diajarkan? 

Selanjutnya bagaimana dampak yang dimunculkan dari pembelajaran sastra kepada anak atau peserta didik di sekolah? Ada satu lagi pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran penulis, mengapa begitu banyak tantangan untuk mewujudkan pesan tersebut kepada peserta didik?

Namun sebelum pembahasan melaju lebih jauh tentang pokok jadul yang sudah ditetapkan. Penulis ingin  memberikan sedikit pencerahan tentang manfaat mempelajari karya sastra terutama bagi peserta didik yang menjadi subjek pembelajaran.Pada artikel sebelumnya yang diposting di Kompasiana, penulis juga sudah pernah menyinggung bahwa mengkaji karya sastra, berarti berusaha membongkar segala tanda yang ada dalam budaya.

Hal ini sesuai dengan pengertian umum dari sastra bahwa sastra juga representasi sebuah budaya yang dituangkan dalam bentuk karya seperti puisi, cerpen, drama dan novel. Budaya dalam konsep ini adalah sebuah kebiasaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat dan menjadi suatu adat yang sudah diwariskan pada generasi berikutnya.

Selain itu, kebiasaan tentang sikap, pola pikir dan tindakan yang dimiliki oleh setiap individu termasuk bagian dari budaya secara personal. Ini juga sesuai dengan ilmu Sosiologi Sastra yang menyatakan bahwa  sastra adalah sebuah lembaga yang mewakili segala kebiasaan, pemahaman pola pikir yang  berhubungan dengan apa saja yang ada dalam kehidupan.

Kemudian orang -orang yang mempelajari dan menghasilkan sastra adalah mereka yang tergolong cerdas.. mengapa hal itu bisa terjadi?  Setiap karya sastra merupakan  produk imajinasi. Dalam kehidupan nyata setiap produk mahakarya yang digunakan untuk kemaslahatan umat itu semua ditemukan dengan mengunakan imajinasi. 

Orang - orang yang mengunakan imajinasi dalam melakukan sesuatu adalah orang -orang yang berpikir secara abstrak . Setiap gagasan brilian sebelum dijadikan produk, pada dasar adalah  imajinasi dan imajinasi itu alat merupakan utama dari karya sastra. 

Sama halnya, dengan uraian di atas, orang- orang yang megeluti sastra ,emosionalnya lebih stabil dan tidak temperamen. Artinya saraf-saraf halus yang selama ini pulas di balik alam bawah sadar, ketika disentuh imajinasi akan memberikan sebuah ketakutan kontrol yang luar biasa terhadap emosional yang bersemayam dalam jiwa. 

Apabila hal tersebut bisa direalisasikan pada generasi sekarang, terutama generasi Z yang sedang dilanda pengaruh teknologi seperti permainan game baik onlin maupun offline. Hal ini cukup berdampak pada kestabilan mental generasi Z sebagai   generasi emas Tahun 2045. 

Pengaruh Game Online pada Generasi Z

Hampir setiap hari media media ekstrem selalu mengabarkan duka yang mendalam tentang boroknya general muda yang kecanduan dengan  permainan game. Berbagai dampak negatif telah dimunculkan dari permainan tersebut.

 Hampir rata rata cara berpikir mereka serba instan dan mudah, sehingga mereka mempunyai temparamem yang tinggi dan cepat marah.  Hal diatas sangat mudah di atasi jika pihak sekolah mau memberdayakan sastra sebagai solusi dalam berpikir dan bertindak.

Hampir setiap hari tampak kasat mata para generasi harapan bangsa nongkrong di cafe cafe mewah bersama komunitas nya masing bermain game baik online maupun offline. Para pengusaha cafe-cafe mewah menjadikan ini sebagai peluang dan bisnis yang menjanjikan. Mereka hanya menngggumanak sarana wifi dan minuman serta makanan sehingga mereka diculik dalam waktu yang lama tidak perlu pulang kerumahnya.

Seandainya saja ada orang-orang hebat yang menguasai Informatika dan teknologi dan menguasai sastra, mungkin ini akan banyak membawa keuntungan.. Artinya setiap game yang dibuat bernuansa 

Sastra atau ilmu pengetahuan lain yang berguna bagi penikmat game tersebut. Namun hal itu tidak akan pernah terjadi pada zaman secanggih ini.Ini diakibatkan oleh sastra itu sendiri yang sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya sendiri sebelum generasi Z ini muncul. 

Pada tataran sekolah, ketika  menyajikan materi sastra.  Para guru terasa asing seperti menjadi tamu  di rumah sendiri.. apabila ditanya secara personal tentang santra peserta didik banyak yang tidak memahami.. Apalagi para peserta didik diminta untuk memberikan tagihan dalam bentuk produk sastra misalnya puisi, cerpen dan novel. 

Peserta Didik Merasa Tabu Mempelajari Karya Sastra

Terdapat perbedaan yang signifikan antara generasi terdahulu dengan generasi Z seperti sekarang ini. Generasi Z, apabila ingin mempelajari sesuatu akan menanyakan apa manfaat yang diperoleh dari pembelajaran yang  dipelajari.  Sifat kritis seperti ini sebenarnya harus dimanfaatkan oleh guru pengampu materi sastra. 

Dalam pandangan generasi Z yang serba instan, mereka selalu menagih apa hasil akhir yang diperoleh dari pembelajaran sastra. Hasil ini sangat penting, karena akan menjadi motivasi bagi generasi tersebut untuk mengulik lebihi jauh tentang sastra, baik dari segi pengetahuan, maupun dari segi produk yang dihasilkan. 

Sekarang yang dibutuhkan guru sebagai penguasa materi sastra bagaimana caranya menjemput ulang generasi Z yang sudah terlanjur diculik oleh permainan - permainan modern yang lebihi banyak membawa dampak negatif. Mereka harus dijemput dan dikembalikan ke alam budaya  asli yang bersifat ketimuran. 

Tantangan seperti ini tidak dapat dilakukan secara individual oleh guru, khususnya guru yang mengajar materi sastra. Akan tetapi,  pemerintah melalui instansi terkait harus hadir memberikan solusi yang tepat baik kepada guru maupun program yang dilakukan.  Apabila hal ini diterapkan Melly kajian kajian yang mendalam, maka kebermaknaan mempelajari sastra pada generasi Z akan terwujud. 

Simpulan: 

Agar tulisan ini mempunyai pemahaman yang sepadan antara maksud penulis dan pembaca secara khusus Kiranya perlu diberikan simpulan terhadap  uraian  tulisan  ini.  Belajar  sastra pada lembaga  pendidikan  apapun jenjang yang diikuti  akan  memberikan dampak positif terhadap perkembangan  jiwa peserta  didik  dan  memberikan  dampak  yang  luar biasa.

Apabila  pembelajaran  sastra diabaikan tanpa adanya tindakan khusus  ditengah arus dan degradasi moral  generasi Z, dikuatirkan sastra yang merupakan representasi budaya bangsa akan ditinggalkan  oleh generasi muda dan akan menjadi tamu di rumah sendiri. 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun